Wae Rebo My Dream Destination, Negeri Tersembunyi di Flores <3
Siapa yang tidak tahu Wae Rebo!!!
Setiap orang yang senang bertualang, pasti punya satu destinasi impian yang ingin dikunjungi minimal sekali seumur hidup. And we called it “dream destination”. Dan bagiku, Wae Rebo dengan segala keelokannya memiliki daya tarik tersendiri yang membuatku ingin segera datang menyambanginya.
Oh ya, sudah 5 (lima) kali berencana Liburan ke Labuan Bajo dan 5 (lima) kali pula ‘gagal’ ke Wae Rebo, padahal semua sudah direncanakan dan dipersiapkan dengan matang, namun ada saja hal-hal yang membuat ‘gagal’ untuk pergi ke sana.
Jika Dieng disebut sebagai ‘negeri di atas awan’, maka Wae Rebo pantas dijuluki sebagai ‘surga di atas awan’.
Wae Rebo adalah sebuah kampung adat unik di Kabupaten Manggarai, NTT, yang berada di ketinggian 1.120 mdpl ini dihuni oleh generasi ke-20. Mereka tetap menjaga adatnya dari terpaan zaman, meski telah berganti generasi beberapa kali. Hal inilah yang menjadi daya tarik bagi wisatawan.
Konon katanya, Maro, nenek moyang warga Wae Rebo, bukanlah asli NTT. Mereka adalah orang Minangkabau, Sumatera Barat. Dan memilih Wae Rebo sebagai tempat tinggal dari sekian banyak tempat yang disinggahi karena dua alasan. Pertama, karena Wae Rebo cocok ditanami berbagai jenis tanaman yang dapat menghidupi masyarakatnya. Kedua, tingkat tumbuh kembang manusianya tidak sepadat pulau lain.
Dan ada banyak hal-hal yang bisa dieksplorasi dari desa tertinggi di Pulau Flores ini. Dan inilah beberapa eksotisme Wae Rebo yang menjadi alasan dan membuatku jatuh ❤.
1. Rumah Adat Mbaru Niang
Mbaru niang, nama rumah adat masyarakat Wae Rebo ini terus dijaga kelestariannya. Kerja keras warga lokal untuk mempertahankan keutuhan rumah adatnya diganjar penghargaan Award of Excellence Asia-Pasific Heritage Awards for Cultural Heritage Conservation oleh UNESCO pada tahun 2012.
Rumah berbentuk kerucut dengan tinggi sekitar 15 meter ini berjumlah 7 rumah. Setiap rumah memiliki nama masing-masing. Nama tersebut diambil dari petinggi adat zaman dahulu. Dari ketujuh rumah tersebut, enam diantaranya dipakai sebagai tempat tinggal. Baik tempat tinggal warga maupun wisatawan. Satu mbaru niang bisa ditempati 6-8 keluarga. Satu rumah lainnya digunakan untuk menyimpan gendang dan pusaka milik kampung adat Wae Rebo.
Mbaru niang dibangun saling berhadapan membentuk setengah lingkaran. Uniknya, rumah ini dibangun tanpa paku, melainkan diikat menggunakan rotan. Pada pelataran mbaru niang terdapat sebuah bangunan berbentuk elips dengan diameter 7,4 meter dan tinggi 1,2 meter. Bangunan tersebut bernama compang yang merupakan titik pusat Wae Rebo dan biasanya digunakan untuk upacara adat.
Berselimut Kabut dan Berlatar Pegunungan Indah
Wae Rebo merupakan desa tertinggi di Pulau Flores. Tak heran jika kabutpun akan datang untuk menyelimuti kampung ini pada pagi dan sore hari. Bagiku, kabut adalah panorama tersendiri yang melengkapi kecantikan sebuah dataran tinggi.
Kombinasi pemandangan pegunungan hijau yang membentang dengan tujuh rumah adat mbaru niang sungguh membuat mata ini tak ingin berpaling. Rasanya seperti melihat surga! Warga sekitar memang sangat menjaga kelestarian alamnya. Bahkan wisatawan yang datang pun dilarang untuk merusak atau mengambil tumbuhan dari hutan. Mereka juga tidak diperbolehkan untuk membuat coretan di pohon maupun batu.
Kopi dan Jeruk Khas Wae Rebo
Komoditas utama dari sektor pertanian di Wae Rebo adalah kopi dan jeruk. Ada 3 jenis kopi yang dapat tumbuh di sini yaitu robusta, arabika, dan kolombia. Kopi Wae Rebo bukan sekadar welcome drink bagi wisatawan yang datang. Lebih dari itu, biji-biji kopi tersebut adalah penyangga hidup bagi masyarakat Wae Rebo. Warga dapat memenuhi kebutuhan hidup sekaligus menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi dari hasil menjual kopi. Panen raya biasanya dilakukan antara bulan April hingga Agustus.
Wajib Coba!!!
Perjalanan Menuju Wae Rebo
Last but not least, eksotisme Wae Rebo yang membuatku jatuh hati adalah rute perjalanan menuju Wae Rebo. Karena lokasi kampung adat berada di pegunungan, maka wisatawan yang datang harus melakukan pendakian selama 3-4 jam mulai dari Desa Denge. Melewati bukit dan lembah dengan jalan setapak. Ya, mirip naik gunung gitu. Sejak kuliah aku memang ingin sekali naik gunung, tapi belum kesampaian. Jadi, naik ke Wae Rebo sama seperti ‘sekali mendayung, 2-3 keinginan tercapai.’
Oh iya, karena jalan setapak menuju Wae Rebo ada beberapa cabang, maka pastikan kamu menyewa tour guide, ya. Supaya tidak tersesat dan tak tahu arah jalan pulang.
Untuk menuju Wae Rebo, pengunjung akan melewati 3 pos pendakian. Setelah sampai pos terakhir, pengunjung wajib memukul kentongan, atau Pepak dalam bahasa Wae Rebo, sebagai penanda bahwa ada tamu yang datang. Destinasi wisata kampung adat Wae Rebo buka setiap hari selama 24 jam. Setelah memasuki kampung adat, pengunjung harus menuju niang gendang atau rumah utama yang paling besar untuk mengikuti upacara adat penyambutan tamu.
It Will Be Unforgettable Vacation
Bertualang ke Wae Rebo, akan menjadi liburan mewah yang takkan terlupakan bersama ‘pasangan’. Setidaknya, sekali saja seumur hidup, semoga aku bisa menyambangi ‘my dream destination’ Wae Rebo.
Menghirup sejuknya udara pegunungan, melihat hijaunya bukit yang membentang luas, menikmati sajian kuliner di Mbaru Niang, dan merasakan hangatnya suasana khas pedesaan adalah impian yang semoga segera menjadi kenyataan di ‘Challenge MyDreamDestination ini’. Aamiin