Bicara tentang wisata Impian ke luar negeri, satu negara yang ingin saya kunjungi adalah Vietnam. Salah satu alasannya adalah karena beberapa waktu silam, saya menyaksikan sebuah film romcom yang mengambil setting di negeri Naga Biru tersebut. Ceritanya sederhana, tentang seorang Wanita (Amanda Riley) yang bekerja di travel agent dan dikirim untuk business trip ke Vietnam demi dapat melakukan ekspansi bisnis. Jadilah Amanda menjelajah Vietnam hingga ke desa-desanya dan menemukan sendiri berbagai budaya Vietnam yang menarik.
Saya terpesona dengan keindahan negeri Vietnam yang digambarkan dengan cantik dalam film. Dari mulai kesibukan di Ho Chi Minh City yang mirip-mirip dengan kota saya tinggal, Jakarta, hingga ketenangan yang bisa dirasakan saat mengunjungi Da Nang. Barangkali bagi orang Indonesia, Vietnam tidak (atau belum) sepopuler Thailand dalam hal pariwisata, namun hal tersebut malah membuat saya semakin tertarik mengunjungi negara yang merupakan bagian dari ASEAN dan masih terbilang dekat tersebut.
Di Ho Chi Minh City, seperti halnya Amanda, saya ingin menjejakkan kaki langsung ke riuh ramainya marketplace Vietnam. Ketika menonton film, saya langsung menyadari bahwa ternyata orang Vietnam pun punya cara tawar-menawar di pasar yang mirip dengan di Indonesia. Jika penjual tidak mau menurunkan ke harga yang diinginkan pembeli, strategi pembeli adalah pura-pura melangkah pergi. Jika beruntung, beberapa langkah kemudian sebelum terlalu jauh, penjual kemudian akan memanggil kembali dan bersepakat untuk menjual sesuai dengan harga yang diinginkan pembeli.
Menarik juga bahwa di Ho Chi Minh lalu-lintas kendaraan seperti halnya di Jakarta. Ada sebuah adegan di film yang menampilkan Amanda yang ingin menyeberang jalan, namun kebingungan karena tidak menemukan zebra cross. Lalu Singh, sang tour guide, menunjukkan caranya: dengan mengangkat tangan dan langsung menyebrang saja. Hal ini mengingatkan saya dengan banyaknya orang yang juga menyebrang jalan dengan cara seperti ini di Jakarta.
Ketika berada di Hoi An, Amanda kemudian menemukan bahwa orang Vietnam punya tradisi untuk memakai baju baru saat pergantian tahun dengan warna yang cerah, yang menyimbolkan keberuntungan dan kemakmuran. Di Hoi An, saya juga ingin menyaksikan sebuah gang yang penuh dengan lampion di atasnya, sebuah gang panjang nan syahdu menuju danau yang menyewakan perahu untuk dinaiki dan meletakkan lampion yang diapungkan di atas kanal tersebut. Besar kemungkinan hal ini dapat dilakukan saat Lantern Festival, saat bulan purnama muncul. Jika ada kesempatan, saya ingin sekali mengunjungi tempat ini di waktu tersebut bersama pasangan. Berbeda dengan keriuhan Ho Chi Minh City, Hoi An menawarkan atmosfer ketenangan yang melekat, dan lampu temaram serta bebas kendaraan bermotor yang menurut saya amat romantis, apalagi jika mengunjunginya bersama orang terkasih.
Bertolak dari Hoi An, daerah lainnya yang juga menarik adalah Da Nang. Vietnam sendiri merupakan negara dengan garis pantai yang cukup Panjang. Da Nang merupakan daerah yang berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan. Digambarkan dalam film, wisatawan dapat menyewa sebuah perahu berbentuk bulat sempurna yang harus dinaiki oleh dua orang di arah berlawanan agar seimbang. Di Da Nang juga terdapat Golden Hand Bridge, namun tempat ini tidak dimunculkan di film. Seperti namanya jembatan yang terkenal ini seperti disangga oleh dua tangan raksasa. Di samping kiri dan kanan jembatan, terhampar pemandangan yang memukau, yang menjadi daya tarik wisatawan untuk menyempatkan mampir ke tempat ini saat di Vietnam. Da Nang juga mempunyai sebuah situs Sejarah Bernama My Son Sanctuary, sebuah reruntuhan candi Hindu. Melihatnya, saya jadi teringat berbagai situs pra-sejarah di Indonesia. Seperti Amanda di sana, saya juga ingin merasakan bagaimana aura sebuah tempat dapat membuat manusia merasa berpindah waktu dan tempat ke masa lain.
Selain itu, dalam hal makanan khas, Vietnam juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Saya suka bagaimana orang-orang Vietnam mengolah makanan dengan banyak komposisi yang menyehatkan, seperti misalnya Pho dengan kuahnya yang menghangatkan (mie beras dengan topping daging atau ayam) , Banh cuon (kulit tepung beras yang diisikan sayuran dan daging) atau gou cuon (spring roll khas Vietnam yang merupakan rice paper berisikan udang, daging, dan sayuran). Saat datang ke salah satu restoran Vietnam di Jakarta, saya sadar bahwa ternyata Vietnam juga suka menambahkan berbagai macam daun herbal di atas hidangan, termasuk diantaranya cilantro, basil, dan mint yang menambah khas aroma makanan Vietnam. Baru-baru ini, saya juga membaca sebuah berita yang Menginfokan bahwa Vietnam sedang mengembangkan sedotan minum berbahan dasar rumput yang dikeringkan. Saya terpesona dengan cara negara ini berupaya untuk menjaga bumi lebih baik lagi.
Masih tentang kuliner, hal lain yang menarik dari Vietnam tentu adalah kopinya. Tidak banyak yang tahu, Vietnam merupakan negara penghasil kopi kedua terbesar di dunia. Indonesia sendiri ada di peringkat 3, tepat setelah Vietnam. Sebagai peminum kopi, saya cukup paham bahwa kopi dari berbagai daerah di Indonesia saja berbeda-beda rasanya. Amat menarik rasanya untuk dapat mencicip kopi Vietnam langsung di tempatnya, dengan cara penyajian yang unik pula. Di atas cangkir kopi, terdapat filter kopi yang secara perlahan menurunkan tetes-tetes kopi, sehingga dinamakanlah Vietnam Drip.
Jika suatu saat bisa mengunjungi Vietnam, saya ingin mengajak partner hidup saya, yaitu suami sendiri untuk mengunjungi tempat-tempat di film A Tourist’s Guide to Love dan mencicipi berbagai macam kuliner Vietnam beserta kopinya. Di film, diceritakan bahwa burung phoenix merupakan sebuah simbol penting bagi warga Vietnam, yang melambangkan regenerasi dan awal yang baru. Mengunjungi Vietnam, barangkali dapat menjadi cara untuk memulai sebuah fase hidup yang baru kembali.