“You want to extend?” (Anda mau memperpanjang kepulangan?)
“I would love to.” (Dengan senang hati)
“Allright but bills on you.” (Baiklah tapi dengan biaya anda sendiri)
“Sure, no problem.” (Tentu, tak masalah)
“I will extend for a week, enough?” (Aku akan memperpanjang jadwal kepulangan anda selama seminggu, cukup”
“More than enough.” (Lebih dari cukup)
Aku segera menyalami dan mengucapkan banyak terimakasih kepada Atase Kebudayaan Kedubes Jerman, seorang pria baruh baya yang bertubuh tinggi besar berambut pirang. Akhir Juli tiga tahun lalu, udara panas Jakarta menguapkan aroma cat yang baru saja menempel di dinding. Alat pertukangan tergeletak dimana-mana. Satu kontainer teronggok di halaman. Kantor Kedubes Jerman yang bertngger di pusat Jakarta digunakan sejak 1964. dan baru kali ini direnovasi. Si Atase Kebudayaan bahkan minta maaf atas ketidaknyamanan ini. Siang itu aku datang ke Kedubes Jerman untuk wawancara visa. Perjalananku ke Jerman atas undangan Pemerintah Federal Jerman untuk mengikuti program bertema Menyongsong Kebijakan Iklim. Belakangan aku tahu, undangan tersebut atas dasar rekomendasi seorang petinggi badan PBB dimana aku pernah membantu menjadi editor Buku Panduan Meliput Perubahan Iklim edisi bahasa Indonesia secara cuma-cuma alias pro bono.
Biasanya sebelum berangkat ke luar negeri, yang aku persiapkan adalah menukar mata uang asing. Aku biasanya datang ke money changer langganan di Tebet. Tapi kali ini, aku yakin tidak perlu menukar mata uang rupiah ke Euro. Keyakinan ini tumbuh dari selembar kartu oranye dan aplikasi yang terinstal di telpon genggam, Jenius. Aku mendengar Jenius dari seorang kolega kantor. Si kolega ini menggunting beberapa kartu kreditnya dan menggantinya dengan selembar Jenius. Katanya ada fitur ecard yang bisa berfungsi serupa dengan kartu kredit. Karena itulah ia tak memerlukan lagi kartu kredit dan tak ingin terus terbelit cicilannya.
Kebetulan, ada gerai Jenius di Mall Kalibata City. Aku mendaftar dan proses pendaftaran mudah sekali. Hanya menyerahkan KTP dan beberapa menit kemudian aku sudah memiliki rekening Jenius BTPN. Bonusnya kartu member Starbuck.
Hampir setahun menggunakan Jenius, aku terkesan dengan fasilitas bebas transfer ke semua bank. Fitur ini sangat membantu beberapa keperluan yang mengharuskan transfer ke beragam bank. Jika dikenai biaya admin, jumlahnya lumayan karena saat itu belum ada kebijakan transfer via BI Fast. Tapi aku belum pernah membuktikan kepintaran Jenius di luar negeri. Traveling ke Jerman, saat yang tepat untuk menguji Jenius. Aku berangkat ke Jerman hanya mengantongi selembar $100, sisa uang traveling dari Monaco beberapa waktu lalu.
Roda pesawat Turkish Airlines menjejak aspal landasan Bandara Internasional Istanbul di tengah kegelapan malam. Aku transit berganti pesawat tujuan ke Berlin. Ada waktu beberapa jam untuk menghirup udara Turki dan melemaskan otot kaki. Aku berkeliling terminal yang megah. Meski di luar gelap, di dalam gemerlap. Orang berlalu lalang seakan tak ada jam tidur di tempat ini. Semua bergegas tanpa memberi kesempatan untuk menutup mata sejenak. Aroma harum menuntunku ke depan gerai kopi. Aku tergiur mencicip Kopi Turki meski aku tahu tak ada sebatangpun pohon kopi yang tumbuh di tanah Turki. Setelah hanya duduk mematung dalam perjalanan panjang dari Jakarta, aku membayangkan nikmat dan hangatnya kopi Turki. Tapi bagaimana aku membayar? Di dekat kasih terdapat papan tulis kecil bertuliskan lambang $ dan €. Di deretan menu, harga terbagi dua dalam $ dan €. Kapan ya Rp bisa menginternasional?
Ini ujian pertama kepintaran si Jenius. Aku akan membayar secangkir kopi dengan kartu Jenius. Jika tak diterima, dana darurat selembar George Washington dikeluarkan untuk beraksi.
Aku memesan americano dan menyerahkan si oranye. Sang Kasir yang gantengnya melebihi Reza Prahardian itu sedikit tersebut dan menempel si oranye ke mesin EDC. Ya menempelkan, tidak menggesek. Aku diminta memasukan nomor PIN dan saldo dalam Jenius tergerus ditukar segelas kopi.
Aku menyesap kopi dikepungan udara dingin Istanbul. Di tengah keasyikan ngopi sayup-sayup aku mendengar percakapan dalam bahasa Indonesia bahkan diselingi bahasa Jawa. Aku bergeser perlahan ke arah sumber suara. Ada beberapa orang pria bercakap. Basa-basi aku meminjam korek dan mengucapkan terima kasih. Mereka tertawa
Dari Jakarta?
Iya pak.
Mau kemana?
Jerman. Bapak mau kemana?
Itali
Kami pun mengisi waktu transit dengan bertukar cerita. Ternyata kami di pesawat yang sama dari Jakarta menuju Istabul. Beberapa pria tadi adalah pegawai suatu badan usaha milik negara yang tengah dalam perjalanan dinas. Tak berapa lama kami berpisah. Aku menaiki pesawat menuju Berlin.
Bandara Tegel Berlin tak sebesar Bandara Soekarno Hatta. Jauh. Beberapa waktu kemudian, aku membaca berita bandara ini ditutup dan berhenti beroperasi. Aku mengantri di imigrasi yang sederhana. Di depan seorang pria Asia. Aku menebak jika ia dari Malaysia atau Filipina.
Tak banyak cakap di pintu imigrasi, petugas langsung saja membubuhkan stempel di passportku. Willkommen auf Deutsch. Selamat Datang di Jerman.
Selesai agenda kunjungan di Jerman, aku melanjutkan perjalanan sendiri ke Belanda dan Perancis naik FlixBus. Pesan tiketnya mudah melalui website FlixBus. Bayarnya? Kesaktian Jenius memudahkan pembayaran dengan menggunakan kartu si oranye. Bahkan untuk naik kereta di Jerman pun, aku cukup menempelkan kartu Jenius di mesin tiket. Tak usah repot membayar dengan uang Euro.
Salah satu impian adalah mendaki Menara Eiffel. Pemesanan tiket masuk Eiffel juga dibereskan oleh si Jenius.
Jenius, sahabat Traveling di Benua Eropa. Mudah dan rate exchange yang bersahabat.