Kali ini cita-cita untuk mendapatkan personal best lari maraton bareng Jenius di Pocari Sweat Run 2023 terpaksa harus aku tinggalkan karena kondisi baru sembuh dari cedera plantar fasciitis yang aku alami. Latihan yang HANYA 12 minggu cukup melelahkan secara fisik dan mental. Ternyata gak mudah untuk berlatih maraton tanpa ada persiapan sebelumnya. Aku adalah orang yang selalu melakukan perencanaan matang dalam hal berlatih maraton. Biasanya minimal 6 bulan aku mempersiapkan diri secara fisik dan mental untuk maraton. Dua bulan untuk latihan lari membangun pondasi, 4 bulan untuk program latihan yang lebih detail dan intensif.
[caption id="attachment_42368" align="aligncenter" width="476"] Menuju Finish Line[/caption]
Cedera plantar fasciitis mengharuskan aku untuk setop lari di bulan persiapan latihan inti. Minimal baru mulai sembuh adalah 5 minggu. “Kalo kamu tetap memaksakan diri untuk lari, akan kambuh-kambuhan,” kata dokter ortopedi. Ibarat petir di siang bolong, berat sekali rasanya harus menerima kenyataan harus setop berlari mengingat aku gak punya waktu banyak untuk berlatih maraton. Sepanjang periode penyembuhan, aku rutin mengunjungi dokter, melakukan fisioterapi, dan hanya boleh latihan olahraga yang sifatnya hanya stretching. Satu setengah bulan penyembuhan dinyatakan sembuh oleh dokter, “Kamu boleh olahraga lari yang sifatnya progressive. Pelan-pelan menaikkan mileage,” ujar dokterku.
Setelah sembuh, besoknya aku mulai melakukan program intensif maraton. Mulai terasa endurance (daya kekuatan berlari) ngos-ngosan. Seminggu berlari, kaki mulai terasa nyeri karena otot banyak kontraksi. Saat melakukan speed play, otot ketarik membuat kaki menjadi pincang. Ada momen di mana aku menangisi ketidakmampuan berlari karena level fitness yang turun drastis. Sembari menguatkan diri secara mental, aku rutin melakukan penguatan otot yaitu strength training dengan tujuan supaya endurance semakin baik, level fitness semakin naik, dan supaya gak terjadi cedera kembali.
[caption id="attachment_42370" align="aligncenter" width="518"] Saat di Finish Line[/caption]
Setelah 8 minggu program dilakukan, aku mengikuti perlombaan half marathon yang gunanya untuk mengukur kemampuanku selama latihan sekaligus merupakan simulasi latihan menuju maraton. Hasilnya ternyata gak seperti yang aku harapkan. Ternyata aku masih belum bisa mengembalikan endurance seperti sebelum aku cedera. Aku sangat sedih dengan hasilnya. Gak mau berlarut-larut sama kesedihan, aku berusaha melanjutkan training dan menurunkan ekspektasi untuk maraton. Tujuanku berubah. Yang semula finis untuk mendapatkan personal best, berubah menjadi finis tanpa cedera. Target pace maraton kemudian diturunkan, akhirnya aku bisa beradaptasi berlari sesuai dengan kondisi tubuhku saat ini.
[caption id="attachment_42371" align="aligncenter" width="525"] Tidak Sengaja Ter-capture saat Menangis[/caption]
12 minggu latihan sudah dilakukan, tibalah saatnya hari yang ditunggu-tunggu. Simulasi sudah dilakukan, suka dan duka selama latihan terbayar di hari itu. Hari yang aku nantikan. Finis chip time 4:33:03. Finis tanpa cedera. Ini bukan catatan waktu yang terbaik untukku, tetapi merupakan momen yang terbaik untuk memulai sesuatu yang baru, dengan level fitness yang lebih baik. Aku percaya, pada waktu-Nya, cita-cita yang aku impikan mendapatkan catatan waktu yang terbaik akan aku dapatkan. Konsisten, sabar, dan gak pernah berhenti untuk berjuang.
Personal best memang suatu yang bisa ditaklukkan ketika kita konsisten. Tapi saat belum bisa meraihnya, hal itu gak masalah karena di satu sisi kita harus “listen to your body“. Hal ini mengajarkan kita agar tetap jadi pelari “Jenius”.
Aku yakin akan mendapatkan waktu lari terbaik, it’s just a matter of time.