Hi Co.Creators!
Perkenalkan aku Dea, UX Writer di Jenius sejak Februari 2019. Mungkin masih banyak dari kalian yang jarang dengar tentang UX Writer dan lebih akrab dengan UX Designer ataupun UX Researcher. Jadi, UX Writer tuh apa sih? Copywriter, ya? Well… I do write copies, but… it’s kinda different with what a copywriter usually does. Pernah lihat penjelasan singkat yang ada di dalam aplikasi Jenius, atau misalnya ketika kamu dapat notifikasi Pay Me? Tulisan-tulisan seperti itulah yang biasa dikerjakan seorang UX Writer.
Sederhananya, UX Writer itu perannya membuat copy atau wording di dalam aplikasi. Apa bedanya dengan copywriter atau content writer? Di Jenius sendiri memang ada teman-teman writer selain UX Writer yang perannya lebih ke sisi marketing dan membuat konten komunikasi lain. Perbedaan paling besar antara teman-teman writer lain di Jenius dan UX Writer adalah tujuan dari tulisan yang dibuat. Tulisan yang dibuat oleh UX Writer itu tujuannya untuk membantu dan memberikan informasi ke user untuk bisa menggunakan Jenius dalam aplikasi.
Why I Became a UX Writer
“Lulusan psikologi kok bisa jadi UX Writer, sih?”
Itu adalah pertanyaan yang sering orang lontarkan ke aku. Walaupun awalnya gak sengaja, ternyata pembelajaran di psikologi sangat membantu pekerjaanku saat ini lho. Sejujurnya awal mula aku bisa jadi UX Writer juga karena gak sengaja “dicemplungin” oleh atasanku saat intern di tim product. Awalnya aku ragu karena gak merasa mampu menyandang title penulis. Bahkan sempat kurang tertarik karena aku kira pekerjaannya “cuma nulis”, sebelum mencari tahu apa itu UX Writer lebih dalam. Namun, setelah dijalani, ternyata UX Writer lebih daripada itu.
Ketertarikanku pada research ternyata bisa disalurkan di dunia UX Writing. Pembelajaran di Psikologi membantuku untuk bisa berempati dengan user untuk menentukan copy; dan ketertarikanku pada research cukup disalurkan dengan melakukan validasi tulisan untuk screen tertentu melalui research langsung ke user. Thanks to artikel-artikel Medium dan UX Planet terutama 16 Rules of Effective UX Writing dari Nick Babich yang cukup membantuku memahami dunia UX Writer dan sangat sesuai untuk pemula yang baru mulai atau ingin mencari tahu. Untuk teman-teman Co.Creators yang mau mulai mempelajari dunia UX Writing, bisa mulai cari artikel terkait karena sekarang sudah sangat mudah untuk ditemukan online.
What I usually Do as a UX Writer
“Cuma satu kalimat, gampang dong?”
“Oh jadi UX Writer nulisnya cuma sedikit gitu, ya?”
Pertanyaan itu lumayan sering dilontarkan orang ketika mendengar deskripsi pekerjaan UX Writer. Bagian menulis “cuma” sedikit itu memang kadang-kadang benar sih. Namun, apakah gampang? Buatku justru kebalikannya. Kalau melihat tulisan dalam aplikasi, yang dibuat UX Writer memang kelihatan sedikit, tapi justru itu tantangannya. UX Writer harus bisa memanfaatkan space yang terbatas untuk bisa menyampaikan informasi yang bisa membantu user menggunakan aplikasi tanpa punya terlalu banyak ruang untuk menjelaskan. Fokusnya bukan hanya membuat kalimat pendek atau memilih kata yang paling singkat, tapi yang juga harus tetap mempertimbangkan kejelasan informasi dan tetap sesuai tone of voice dari brand yang sudah ada.
Kalau diminta untuk memberikan gambaran peranku sebagai UX Writer di Jenius, aku mungkin akan mengelompokkannya menjadi dua bagian. Peran pertama adalah sebagai kolaborator dalam tim produk, dan kedua adalah menjadi pagar pengendalian bahasa yang digunakan dalam aplikasi Jenius. Dalam suatu proses penulisan copy aku banyak berkolaborasi dengan tim lain, terutama Product Team seperti UI/UX Designer, Product Owner, bahkan Developer. Diskusi paling sering dilakukan dengan UI/UX Designer untuk tentang user flow dari awal hingga konten akhir sehingga desain dan tulisan yang dibuat bisa saling melengkapi satu sama lain.
Selain dari Product Team, UX Writer di Jenius juga banyak bekerja sama dengan Tim Marketing seperti Tim Brandcomm, Product Marketing, dan PR. Hal ini untuk memastikan copy yang ada di dalam aplikasi sejalan dengan tone of voice Jenius. Selain merangkai kata yang digunakan dalam aplikasi, sesama UX Writer juga sering kali harus berdiskusi sebagai pagar untuk satu sama lain. Hal ini penting untuk memastikan bahwa hasil kerja kami seragam, dan sesuai dengan tone of voice yang jadi acuan utama kami.
Things I Learned from Being a UX Writer
Sebagai UX Writer yang memulai karier penuh kekhawatiran karena gak punya background menulis, ada beberapa hal yang aku pelajari seiring berjalannya waktu. Menjadi UX Writer bukan semata-mata mengisi tulisan pada satu screen yang dibutuhkan, tapi harus memperhatikan keseluruhan user flow sehingga bisa menciptakan experience yang utuh bagi pembacanya—dalam hal ini pengguna aplikasi. Terutama ketika harus membuat tulisan bahasa Inggris, kita gak cuma sekadar menerjemahkan copy dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris, tapi membuat ulang sehingga experience pembaca tetap sama. Bisa dibilang UX Writer itu juga seorang desainer yang hasil akhir pekerjaannya adalah tulisan, berbeda dengan UI/UX Designer yang hasil pekerjaannya lebih ke visual. Hal terakhir yang menurutku perlu diperhatikan adalah penggunaan kata. Sebagai UX Writer harus bisa meredam diri untuk tidak menggunakan kata-kata keren tapi kompleks dan bisa menerjemahkan bahasa teknis yang akan lebih mudah dipahami orang-orang awam.
Nah, begitulah kurang lebih gambaran pekerjaanku sebagai UX Writer di Jenius. Semoga bisa bermanfaat untuk teman-teman Co.Creators, ya.