Abis baca cerpen ini jadi kangen baca novel TeenLit yang seruuuu.
“Dunia indah banget kali ya di mata Naren dan Kesha,” gumam Dian sambil menatap pasangan yang dielu-elukan seantero sekolah dari kejauhan. Cewek itu kembali mengunyah keripik kentang.
Sebulan lalu, Naren dan Kesha resmi jadi pasangan, yang mana bikin gempar sekolah. Mereka adalah kombinasi yang sempurna. Naren terkenal karismatik dan cerdas, sementara Kesha siswi multitalenta dan diakui sebagai yang tercantik di angkatannya.
“Kamu nih kayak pemula aja,” tanggap Toni yang ada di samping Dian. Cowok itu mencuri keripik kentang dari tangan pacarnya. “Wajarlah, mereka kan baru jadian, lihat aja kalau udah setahun kayak kita…”
“Emang kita kenapa?” Dian melotot, sedikit tersinggung.
Toni menelan ludah, merasa salah bicara.. “Nggg… gini lho… maksudnya, mereka lagi hangat-hangatnya, belum sampai tahap saling usaha untuk menerima keburukan satu sama lain, belum banyak kompromi. Kayak kita…”
Toni berusaha merangkul bahu Dian, tapi cewek itu menepisnya. “Aku tetap gak mau kompromi sama kebiasaan kamu nyalin PR aku karena seharian main game online. Itu namanya gak bertanggung jawab, tau!”
“Iya, Dianku… manisnya aku… aku janji, mulai hari ini tiap jam delapan malam kita video call kerjain tugas bareng,” ujar Toni dengan membentuk jari peace.
Dian mendengus. Dia kembali memperhatikan Naren dan Kesha yang sekarang saling berbicara. Ketika Kesha hendak tertawa, lalu menutup mulutnya dengan anggun. Kalau ada serpihan makanan di sisi mulut Kesha, tangan Naren sigap menyapunya.
“Ibarat film nih ya… mereka tuh pemeran utama. Kita cuma cameo yang mondar-mandir dan ngeblur di layar. Tugas kita tuh mendukung suasana drama dan konflik. Kalau mereka berantem, kita kayak ikutan kaget. Kalau mereka kasmaran, kita ikutan terpesona,” ujar Dian panjang lebar.
Toni tidak merespons, tapi tangan kanan cowok itu terus masuk ke plastik keripik kentang.
“Toon…!” Dian berdiri di hadapan Toni sambil berkacak pinggang. Wajahnya menekuk kemerahan. Dengan satu entakan kaki, dia mengomel, “Nyebelin!” Dian pun kembali masuk ke kelas.
***
Sore tadi kami joging di GBK. Setelah mulai capek, Naren ajak aku berhenti. Kami jalan di tempat sebentar sambil atur napas. Dia panggil aku terus suruh aku lihat ke atas. Do you know what I found? A broad-wide cotton candy sky. Hatiku rasanya hangat banget. Sudah lama gak lihat langit sore sebagus itu. Dia pun ajak aku buat pendinginan. Dia bilang senja itu cepat banget berlalunya, kayak keindahan yang sering kali cuma bisa dinikmati sesaat. Naren benar, langit senja berlalu dalam hitungan menit. Selama kami berjalan dia gandeng tanganku dan jalan seritme dengan langkahku. Saat itu aku lupa sama semua penyesalanku di masa lalu dan kecemasanku akan masa depan. Aku merasa hidup pada masa kini. Naren kasih tau aku kalau yang paling penting adalah masa sekarang. Sama dia, semua tempat rasanya jadi berarti. #sliceoflife #FragmenRanggini #CeritaNaren #cityvibes #RelationshipGoals
Dian mengernyit. “Foto langit di atas atap stadion aja bisa kelihatan estetik banget. Yang likes puluhan ribu, terus komen-komennya ratusan dengan penuh puja-puji.”
Nyaris setengah jam dilalui Dian dengan menyelami profil Instagram Kesha. Sementara itu, Toni asyik bermain game online. Begitulah kencan akhir pekan mereka: nonton bioskop, makan di food court mal, sesekali ngobrol, tapi lebih banyak berkutat pada smartphone masing-masing.
“Naren juga ikut-ikutan rapi feeds-nya,” celetuk Dian lagi.
“Ah… yah… mati,” gerutu Toni. Cowok itu langsung menaruh ponselnya dan beralih menanggapi Dian. “Beberapa bulan lalu, pas pemilihan Ketua OSIS, followers dia tuh masih seribu. Sekarang doong…”
“Dua puluh ribu! Gila, dalam sebulan doang.” Dian terbelalak.
Keheningan terjadi lagi. Dian kembali fokus dengan konten Instagram Naren, sedangkan Toni kembali bermain game.
Jemari Dian terhenti di salah satu posting-an karosel Naren yang menunjukkan Kesha memeluk figur KAWS besar. Ketika digeser ke slide berikutnya, ada video saat keluarga Kesha muncul di restoran membawa kue lengkap dengan lilin. Cewek itu terlihat terkejut dan terharu. Slide ketiga, foto Kesha meniup lilin. Slide terakhir, foto mereka berdua.
Hai, Nggi… Lihat kamu tertawa dan berbahagia kemarin, aku ikut merasakan hal sama. Rasanya ingin terus bisa lihat kamu bahagia. Mungkin kita terlalu muda jatuh cinta, tapi… bukankah itu tandanya kita dikasih waktu lebih banyak untuk saling mengenal dan belajar cara menyayangi satu sama lain? Yang pasti… aku bahagia lihat kamu jadi perempuan 17 tahun. Dan aku ingin terus melihatmu ketika 18, 25, 50, maupun 100 tahun. Yours, N.
#birthday #sweet17 #CeritaNaren #FragmenRanggini
#RelationshipGoals
“Ton… ini posting-an ultah Naren buat Kesha sweet banget deh…” puji Dian sambil menunjukkan smartphone-nya pada Toni.
“Aku udah pernah lihat,” jawab Toni sekadarnya.
“Mereka tuh suka banget nunjukkin satu sama lain. Gak kayak kamu, mana pernah posting foto aku di Instagram?”
“Aku kan emang jarang nge-post. Buka IG buat kepo doang.” Toni cengengesan. “Lagian semua orang tau aku pacar kamu, kamu pacar aku. Ya, kan?”
Dian memutar bola mata. Cewek itu tampak berpikir. Toni memang benar, tapi melihat apa yang Naren dan Kesha lalui, rasanya hubungan Dian dan Toni ada yang kurang.
“Ton, menurutmu… relationship goals kita apa sih?” Dian mendekatkan kepalanya ke arah Toni, membuat cowok itu beralih dari layar.
“Hah? Goals apa tadi?”
“Huh, capek ah ngomong sama kamu! Aku mau pulang aja. Males dari tadi kamu nge-game terus,” gerutu Dian sebal, lalu bangkit berdiri dan segera berjalan.
Toni buru-buru mengejarnya.
***
Sekolah tampak sepi setelah bel berbunyi. Hujan yang sempat mereda beberapa saat membuat kebanyakan siswa langsung bergegas pulang–enggan terjebak di sekolah karena hujan. Kini hanya tersisa anak-anak cheerleader dan bulu tangkis yang punya jadwal latihan hari ini. Namun, sore ini langit menggelap lagi dan hujan deras pun kembali turun.
Toni yang sejak tadi terdiam menatap sosok yang sering dibicarakan oleh pacarnya: Kesha. Cewek itu tampaknya tidak membawa payung karena ketika hujan lebat berganti jadi gerimis, dia menerjang rintik air. Toni bisa melihat Kesha yang hendak menyetop taksi di jalan raya depan sekolahnya. Lalu tiba-tiba sosok cowok muncul di depan Kesha.
Naren.
Cowok itu memayungi Kesha, mengulurkan telapak tangannya yang lebar. Dia berusaha tersenyum meski kelihatan banget napasnya tersengal-sengal. Entah apa yang pasangan itu bicarakan, kedua bola mata Kesha tampak berkaca-kaca. Spontan cewek itu memeluk Naren dengan erat.
“Kok bisa ya mereka romantis gitu?” gumam Toni dari kejauhan. Tangannya sibuk mengelap leher yang dialiri keringat selepas tanding satu set bulu tangkis melawan Gusti.
“Keadilan dan kebahagiaan untuk mereka yang good looking,” balas Gusti, bergabung sambil meminum sebotol air dingin.
Toni melirik Gusti sesaat. “Tuhan Maha Adil! Buktinya, biar good looking Naren masih kalah urusan olahraga sama kita.”
“Gue kan ngomongin Kesha…”
Toni mengangguk-angguk paham. Pandangannya kembali terarah ke pasangan itu yang kini berjalan bergandengan. Cowok itu mendesah, teringat Dian yang masih jutek kalau diajak ngobrol. Pertengkaran terakhir mereka terjadi gara-gara Toni tidak menjawab pertanyaannya soal relationship goals. Sebenarnya dia sendiri juga bingung, toh otaknya lagi dipakai main game… eh malah dikasih pertanyaan filosofis!
“Bro, menurut lo relationship goals tuh apa sih?” tanya Toni. “Dian ngambek gara-gara gue gak bisa jawab.”
Gusti menyeringai–kelihatan aneh banget di wajah cowok itu. Telunjuknya mengayun-ayun di depan hidung Toni. “Pasti cewek lo abis ngepoin Instagram-nya Naren-Kesha. Paham banget nih gue…! Kalau ada yang bahas mereka, pasti bilangnya, ‘Aduh, mereka tuh goal banget!’ Pengaruh hashtag relationship goals yang mereka pakai tiap kali posting.”
“Naaah… nah…! Itu apaan sih?”
“Ya intinya sih kondisi ideal pas pacaran. Si cewek-cowok kelihatan bahagia satu sama lain. Hubungannya sweet, produktif, pokoknya banyak cerita. Tiap orang kalau lihat jadi iri,” jelas Gusti. “Ah, payah lo. Masa gini aja gak tau? Gue aja yang pacaran terakhir pas TK paham.”
Toni termenung. Hujan membuatnya merasa makin galau. Hubungannya dengan Dian terasa ideal. Mereka bahagia, punya banyak cerita lucu, cepat baikan kalau bertengkar—kecuali sekarang, tapi toh Dian masih mau bicara dan gak minta putus. Memang sih, mereka jarang mengekspresikan diri mereka di media sosial. Lagi pula, kan tidak enak bikin orang lain iri, nanti didoakan yang jelek-jelek.
Meski menyadari banyak hal yang sudah cukup ideal di dalam hubungannya, Toni tetap saja kepikiran sampai tidak bisa tidur. Akhirnya dia menghabiskan waktu hingga tengah malam dengan membuka semua posting-an bertuliskan #RelationshipGoals di Instagram.
***
Sebentar lagi Dian berulang tahun. Toni berencana bikin #RelationshipGoalsExperience, ide yang tiba-tiba dia dapat saat bangun tidur. Selama dua hari dia akan memberikan pengalaman penuh cerita dan berkesan untuk diunggah ke media sosial bareng Dian. Mulai dari jalan-jalan ke taman hiburan, hingga ke pantai. Dari minum es kelapa muda, hingga makan gelato. Dari brunch di kafe cantik, hingga dinner di atap pencakar langit. Dari pagi hingga malam, mereka pasti takkan kalah dari Naren dan Kesha.
Di bawah guyuran air, Toni mulai menghitung. Otaknya segar disiram air dingin pagi hari.
Tiga juta cukup sih kayaknya… batin Toni.
Begitu keluar kamar mandi, buru-buru cowok itu mengambil smartphone dan mengecek Dream Saver-nya. Dia punya beberapa pos tabungan untuk beberapa kebutuhan seperti raket baru, anniversary, dan tentu saja ulang tahun Dian.
Alhamdulilah… sedikit lagi! Sejak punya KTP empat bulan lalu Toni langsung memindahkan tabungannya di celengan plastik ke rekening Jenius. Yang bikin praktis, saat orang tua dan kakaknya ingin kasih uang jajan, cuma tinggal transfer ke Toni yang memakai Cashtag yang sama dengan profil media sosialnya.
Selama perjalanan ke sekolah Toni tampak semringah. Begitu tiba di kelas, dia langsung menghampiri Dian yang sedang mengerjakan tugas.
“Kamu lagi ngapain?”
Dian memberi isyarat dengan kelopak matanya yang terbuka lebar sementara bola matanya menunjuk ke bawah, ke arah LKS. Cewek itu kelihatan jelas menghindari Toni.
“Udah dong ngambeknya… aku minta maaf deh. Aku bakal lebih perhatiin kalau kamu ngomong. Aku udah dua minggu lho gak nge-game. Tuh, bisa, kan? Apalagi kalau lagi sama kamu. Gak ada alasan buat berpaling dari wajah kamu yang cantik…” rajuk Toni gombal.
Dian hanya berdecak kemudian lanjut mengerjakan tugasnya.
“Ih… kamu mah gitu!”
“Apa sih? Gak enak kan dicuekin? Aku tuh kesel karena kamu cuek banget. Saat aku ngomong kamu gak perhatiin. Udah deh… sana! Nanti juga aku adem sendiri. Lagian juga belum tiga hari, belum dosa.”
“Eh iya… kalau lewat dari tiga hari, nanti dosa.”
Tidak ada tanggapan dari Dian.
“Hmm… Dian… sebentar lagi kan kamu ulang tahun… kamu kepingin kado apa?”
Dian melirik Toni, senyum tipis terukir di wajahnya. “Terserah…”
“Kok terserah…? Aku kan gak mau asal pilih.”
“Beneran, ya…?” Dian mulai terlihat bersemangat. “Kamu kan tau aku lagi suka banget sama BTS…” Wajah usil Dian mulai tampak, dia pun melanjutkan, “Tapi aku belum punya satu pun album mereka.”
“Oke! Aku beliin! Kamu mau lightstick-nya juga? Aku beliin!” respons Toni optimistis. Ibu jarinya bergoyang dari kanan ke kiri di depan hidung.
“Albumnya banyak loh…”
“Gak masalah!”
Mereka saling bertatapan. Toni melempar senyum. Dia mengangkat jari kelingkingnya ke muka Dian. Kekasihnya itu masih gengsi. Dia membuang wajahnya ke bawah, ke hadapan LKS-nya lagi, tapi pelan-pelan dia angkat kelilingkingnya, menyambut.
“Alhamdulillah… Ini relationship goals-ku hari ini!!!” pekik Toni yang tak peduli teman-teman sekelasnya yang menatap mereka keheranan.
***
Naren dan Kesha mendadak jadi buah bibir lagi. Kesha sakit beberapa hari. Foto-foto dengan Naren pun menghilang dari Instagram-nya. Naren memilih diam dari bahasan ini.
Di lain sisi, Toni dan Dian sedang manis-manisnya. Mereka seperti mengulang periode awal hubungan. Instagram Story mereka penuh momen kebersamaan.
“Dian, lightstick-mu—apa tuh namanya ARMYBOMB… udah sampai lho! Album juga aku udah dapet beberapa. Album lamanya agak susah ya,” ucap Toni memamerkan usahanya untuk ulang tahun Dian.
“Kalau gak dapat gak pa-pa kok, Ton. Aku udah senang.”
Toni merasa lega. Namun, dia takkan menyerah untuk membuktikan cintanya.
“Aku minta waktumu dua hari. Hari ulang tahun dan sesudah hari ulang tahun,” ujar Toni, makin percaya diri untuk maju ke tahap selanjutnya, membuat Dian meningkatkan kadar sayangnya seiring ekspektasinya melambung tinggi.
***
Situasi cepat berbalik.
Ternyata ada pertengkaran kecil di antara Naren dan Kesha hingga cewek itu jatuh sakit karena tertekan. Bak drama film remaja, pada suatu malam Naren mengirimkan sebuah video ke WhatsApp Kesha. Video tersebut dibuat dan disuntingnya sendiri; berisi foto-foto mereka dengan sedikit narasi tertulis dan latar lagu Fine Today dari Ardhito Pramono. Seketika air mata Kesha berlinang, hatinya luluh. Lalu sebuah pos baru muncul di Instagram menampilkan foto salah satu bagian di video tersebut dan pujian betapa manisnya cara Naren meminta maaf.
Dian keluar Instagram setelah melihat pos tersebut. Nasibnya memang tidak seberuntung Kesha.
Ulang tahunnya tinggal menghitung hari. Namun orang yang menjanjikan perayaan untuknya malah masuk rumah sakit karena demam berdarah. Pelan-pelan dia harus mengikhlaskan bahwa ulang tahunnya akan berlangsung seperti hari biasa. Mereka bukanlah Naren dan Kesha, dan takkan pernah menjadi Naren dan Kesha. Mereka hanya Dian dan Toni, pasangan lapuk yang tidak populer, tidak rupawan, dan tidak punya cerita menarik.
Pada titik ini, dia merasa jadi pasangan yang tidak punya tujuan apa pun. Pasangan biasa yang memang tidak memiliki relationship goals.
***
Hujan kembali turun. Naren dan Kesha terlihat dari selasar balkon lantai tiga, di depan Ruang Sekretariat OSIS. Mereka terlibat pembicaraan yang serius. Namun, Dian tak peduli. Dia masuk ke taksi online yang sudah dipesan hingga ke depan gerbang sekolah. Ini hari ulang tahunnya dan sepertinya tidak ada satu orang pun di sekolah ini yang peduli. Hanya grup SD dan SMP-nya yang ramai dengan ucapan selamat, selanjutnya mereka bicara tentang kehidupan mereka masing-masing—lupa kalau perhatian harusnya ditujukan pada Dian.
Jadi, betapa pun biasa dan buruknya hari ini, dia tidak ingin melewatinya sendirian. Dia butuh Toni. Sayangnya, cowok itu masih dirawat di rumah sakit. Trombositnya mulai naik dan demamnya mulai reda, tapi tubuhnya belum cukup kuat untuk diizinkan pulang.
“Selamat ulang tahun, Sayang…!” Toni menyambut Dian dari depan pintu kamarnya.
Dian menanggapi sekenanya. Belum apa-apa bibirnya sudah tertekuk.
Mereka masuk kembali ke kamar. Dian duduk di kursi sementara Toni di ranjangnya. “Maafin aku ya… aku gak bisa tepatin janji…”
“Gak apa-apa kok, Ton…” ujar Dian sendu. “Bukan kamu yang bikin aku sedih. Kalau ulang tahun gak ada perayaan, aku sudah terbiasa…” Lalu tiba-tiba tangis Dian meledak. “Tapi aku baru sadar kayaknya aku gak punya teman. Gak ada satu pun yang tau dan ucapin ulang tahun ke aku.”
Dian membenamkan wajahnya ke ranjang Toni agar suara sedu sedannya tak terdengar hingga ke lorong dan kamar sebelah. Tangisan itu terus berlangsung beberapa menit. Toni membelai pucuk kepala Dian perlahan dengan tangannya yang tertancap infus. Sampai tinggal tersisa isakan, Toni akhirnya mengangkat tangannya, kemudian membuka mulut, “Coba deh lihat aku…”
Dian mengangkat kepalanya.
“Taraaa…!” Sebungkus kado besar sudah ada di pangkuan Toni, di depan wajah Dian persis.
“Apaan nih? Sembako?” Meski bingung, Dian langsung membuka bungkusan itu dengan cepat. Dian yang tadinya murung, mendadak terbelakak. “Ton, lengkap banget! Memangnya uang kamu cukup?”
Toni tertawa. “Apa? Terima kasih? Iya… sama-sama…”
Dian hendak berkata, tapi Toni langsung bicara lagi.
“Satu lagi!” Toni mengambil laptop yang disembunyikannya dari tadi di balik bantal. “Temanmu itu aslinya banyak banget. Mereka cuma kepingin kasih kejutan buat kamu. Sebentar ya… kamu gak boleh lihat dulu.”
“Apa sih?”
Belum sempat Dian melihat layar, banyak suara muncul saling bersahut-sahutan. Toni bergesar di ranjangnya sehingga Dian bisa duduk di sampingnya melihat ke arah layar.
“Haaaii!!!”
“Diaaan!!!”
“Happy birthday!!!”
Dari tiga puluh murid di kelasnya, ada sekitar dua puluh orang yang ikut tergabung dalam video call itu. Semuanya menyerukan selamat ulang tahun untuknya, menyanyikan lagu, bahkan ikut bermain tebak-tebakan yang soalnya sudah Toni siapkan.
“Seneng gak?” tanya Toni, menutup laptopnya setelah perayaan virtual itu usai.
Dian membalas dengan anggukan antusias. Dia belum tuntas mengagumi kado-kado yang baru dia dapatkan.
“Maaf ya aku belum bisa kasih yang lebih dari ini.”
Dian menggeleng. “Aku rasa kemarin aku terlalu sibuk bandingin hubungan kita sama yang lain. Padahal tiap hubungan punya karakteristik masing-masing. Goals-nya pun beda-beda, mungkin malah gak perlu goals sama sekali. Buktinya kita baik-baik saja selama ini.”
“Aku rasa kita tetap harus punya goals. Selama mikirin pertanyaanmu soal relationship goals, aku jadi sadar kalau banyak hal tentang kamu yang kurang aku perhatiin. Keinginan kamu, kesukaan kamu, hal-hal yang bisa bikin kamu senang, kamu takutin… pokoknya macam-macam. Mungkin punya goals sama kayak punya keinginan untuk jadi lebih baik.”
Dian mendongak, lalu menyeringai. “Nyamuknya tuh gak cuma isap darah kamu, ya? Nyamuknya nularin virus bijak sekalian?”
Toni menjawil kening Dian. “Preeet…! Aku serius nih!”
Tawa Dian menggema. “Sori, sori… tapi aku setuju, Ton. Nah, gimana kalau goals kita selanjutnya adalah… belajar bareng try out UTBK?”
Toni langsung merengut. “Aaah… males banget!” protes Toni sambil menarik selimut hingga menutupi wajahnya.
_______
Relationship Goals merupakan cerpen pemenang
Kompetisi Menulis Fiksi Jenius Co.Create.
Mau cerpenmu di-publish? Yuk submit naskahmu di sini!
Comments ( 1 )