First of all, selamat (lagi), Kak! Quarter Life Plight khas Nureesh Vhalega, ada orangtua yang entah mengapa begitu sukar menerima anak apa adanya. Klimaks begitu terasa, dan real life banget, terutama di kalimat: Sekalipun bekerja mati-matian hingga mati sungguhan, paling mereka hanya akan mengirim karangan bunga. Hahaha, kok saya meringis, ya? Kayak, ngaca sendiri, gitu? Anyway, thank you untuk tulisan kerennya, Kak! Sukses selalu!
Hari-hari buruk biasanya diawali dengan hal sederhana. Dalam kasusku, ditandai dengan perubahan nama grup WhatsApp. Sungguh bukan hal istimewa karena hampir setiap bulan kami melakukannya: mulai dari “Semoga THR Cepat Turun” sampai “Jangan Lupa Menabung”. Dan hari ini: “Hore Gajian”.
Aku baru menyeberang dari halte GBK menuju kantor ketika pesan dari Starla muncul.
Guys, kabar buruk. Kumpul di pantry ASAP.
Buyar sudah rencanaku menyambangi kedai kopi karena selama tiga tahun bekerja bareng Starla, dia tidak pernah melebih-lebihkan keadaan. Apalagi bulan lalu sudah terjadi sesuatu yang buruk: gaji kami telat masuk. Alasannya karena terpotong hari libur, padahal sejak dulu kami rutin menerima gaji tiap tanggal 25. Kalaupun jatuh di hari libur, akan dikirim lebih cepat.
Ketika aku tiba di pantri, lima temanku sudah berkumpul. Mereka adalah bagian dari grup WhatsApp yang awalnya kami namakan “Pengabdi Korporat”. Secara kronologis, kami masuk hampir bersamaan dan ajaibnya tiga tahun ini sanggup bertahan. Mungkin karena terlalu nyaman meski gaji yang diberikan perusahaan ini sangat mengenaskan.
Starla terlihat gemas menyambut kedatanganku. “Hafi, buruan! Penting nih!”
Aku duduk di samping Rinni, bagian legal yang sering ditodong membantuku sebagai pengisi suara. Dengan prinsip perusahaan harus berhemat, kami tidak asing kerja rangkap, bahkan sukarela melakukannya. Tentu, dari waktu ke waktu timbul celetukan kepingin resign, tapi sulit mencari perusahaan baru yang bisa memberikan suasana kekeluargaan.
Pernah seorang anak magang berkomentar, “Kerja di sini agak flat ya. Anak-anaknya gak ada yang sikut-sikutan, terus bosnya gak galak.”
Sejauh ini aku menganut prinsip lebih baik gaji kecil dan lingkungan menyenangkan daripada gaji besar tetapi tertekan. Namun, penuturan Starla berikutnya membuatku mempertanyakan prinsipku.
Apa yang harus kulakukan ketika gaji kecil dalam lingkungan menyenangkan itu berubah menjadi “tidak ada gaji”?
***
“Ayo kita sebar CV!” cetus Lissa geram. “Bulan lalu telat, terus bulan ini mau dicicil. Gila kali ya, masa gue dianggap kerja rodi? Ngurus medsos tuh bikin darah tinggi.”
Sebagai social media specialist sekaligus copywriter merangkap customer service, Lissa memang mudah terpancing emosi. Namun, kali ini aku setuju dengannya. Setelah bergadang minggu lalu demi menyelesaikan proyek Roro Jonggrang Mas Ali—CEO perusahaan iklan ini—aku berharap bisa memanjakan diri dengan makan enak sepuasnya begitu menerima gaji. Ternyata, kenyataan berubah pelik.
Tepat saat kupikir keadaan tidak mungkin jadi lebih buruk, terjadilah bagian paling buruk: belum juga cicilan gaji bulan sebelumnya selesai dibayar dan perusahaan mengaku kehabisan dana. Tidak ada yang tersisa. Beberapa rekanku langsung pindah, berhasil menemukan pekerjaan pengganti dengan cepat. Hingga beberapa minggu berikutnya, hanya tersisa aku dan Starla dari grup Pengabdi Korporat. Perempuan itu diminta khusus oleh Bos untuk tinggal sebab dia memegang banyak data penting perusahaan, sedangkan aku tidak jelas nasibnya. CV sudah kusebar, berbagai lowongan pekerjaan kucoba, tapi belum ada hasilnya.
Sore ini, aku pulang kerja lebih cepat dan nongkrong di rumah tetanggaku, Abrar. Kami satu sekolah sejak SD sampai SMA, lalu berpisah karena Abrar diterima PTN sedangkan aku tidak. Meski begitu, kami mengambil jurusan yang sama: Sistem Informasi. Sejujurnya, alasanku bisa lulus dengan gelar S.Kom berkat Abrar. Dia merelakan tugas-tugasnya kusontek, bahkan setengah dari skripsiku dibuatkan olehnya.
Seandainya boleh memilih, aku akan menjadikan Desain Komunikasi Visual sebagai fokus studi. Sayang, orang tuaku tidak memberi izin. Untungnya aku berhasil mendapat pekerjaan sebagai desainer grafis meski saat ini tidak kulihat keuntungannya karena perusahaan tempatku bekerja nyaris bangkrut dan aku sulit mencari pekerjaan baru. Ijazah dan kemampuan yang tidak nyambung seakan membuatku dikutuk.
“Ngapain lo melototin gituan?”
Aku berdecak. “Gituan apa? Jangan bikin orang salah paham.”
Abrar menarik kursi gaming-nya mendekatiku, lalu menunjuk tampilan e-statement yang terpampang dari layar ponselku. Untung aku sudah selesai mengintip nominal di Flexi Saver. Bukan apa-apa, jumlahnya tidak membuatku bangga, padahal sudah tiga tahun bekerja.
“Itu, lo melototin gituan,” kata Abrar. “Terus, lo megang pulpen kayak mau nusuk orang. Ngitungin duit buat apa sih?”
Alih-alih menjawab, aku justru memperhatikannya yang kini sukses jadi atlet eSport. Meskipun guru kami sering merasa ragu padanya, orang tua Abrar tetap mendukung. Kurasa itu salah satu faktor utama Abrar bisa sukses sebelum usianya 25 tahun. Jelas, kemampuannya hebat. Dia pun tidak membosankan untuk dipandang. Namun, tak jarang aku berandai-andai, coba saja aku terlahir dengan orang tua suportif, akan berada di mana aku kini? Dan, jika aku tidak memiliki kakak yang sempurna, apakah ancaman kehilangan pekerjaan ini akan lebih mudah kuhadapi?
“Woi, malah ngelamun. Terpesona sama kegantengan gue?” tanya Abrar cengengesan.
“Muntah gue, Brar,” cibirku.
“Eh, serius deh. Tumben banget sebelum langit gelap udah pulang, mampir ke rumah gue pula. Pasti ada apa-apa.”
Aku melirik PC Abrar yang masih menyala. “Memangnya lo lagi gak sibuk?”
“To the point aja deh. Lo ngedeprok di kamar gue dari tadi, pasti ada yang penting. Kenapa?”
Kuceritakan semua hal yang terjadi. Bagaimana aku sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi menggunungnya beban kerja berkat resign massal sekaligus nihilnya gaji membuatku sesak. Aku ingin resign, tapi belum dapat pekerjaan baru. Serta mustahil aku mengabari tentang ini kepada orang tuaku yang bahkan tadi pagi menyapaku dengan ocehan, “Kamu tuh sudah 25 tahun, tapi hidupnya begitu-begitu aja. Contoh kakakmu, dulu dia 25 tahun sudah jadi PNS dan punya tunangan.”
Setelah curhat, aku merasa cukup lega, merasa cukup yakin dengan langkahku selanjutnya. Bahkan tanpa menunggu Abrar menyuarakan solusi—tidak dia lakukan karena Abrar dan kata-kata motivasi tidak berkawan sama sekali—aku mantap memilih mengundurkan diri.
***
Pada hari resmi resign, aku menangis sesenggukan. Abrar, yang kamarnya lagi-lagi kujadikan suaka, sigap mengulurkan tisu.
“Kalo bakal sesedih ini, ngapain resign?” tanyanya.
“Terus, lo nyuruh gue jadi babu selamanya?” balasku sewot. “Gaji gue dari bulan lalu aja belum kelar dicicil, eh bulan ini di-ghosting, dan lebih gilanya semua kerjaan dilempar ke gue. Sinting!”
Syukurlah orang tua Abrar sedang pergi, jadi aku bisa bebas berteriak. Kalau di rumahku sendiri, mana berani? Orang tuaku tidak jahat, mereka merawatku dan selalu memastikan kebutuhanku tercukupi. Namun, berkomunikasi dengan mereka sungguh sulit. Aku masih tidak tahu bagaimana harus mengakui bahwa aku pengangguran dengan sisa tabungan pas-pasan dan belum dapat panggilan pekerjaan.
“Gue dosa apa ya, Brar?” ratapku. Rambut panjangku pasti sudah berantakan karena kuacak-acak sejak tadi. “Padahal gue suka kerja di situ—sesuai passion. Tim juga solid. Terus gak ada angin gak ada hujan, perusahaan bangkrut. Gue jadi pengangguran. Kenapa juga sih perusahaan-perusahaan yang gue lamar gak ada kabar?”
Abrar menelengkan kepala. “Yakin bangkrutnya tiba-tiba? Kayaknya tempo hari lo pernah cerita bos-bos lo ribut sampai salah satunya cabut. Dari situ aja udah jelas ada yang gak beres sama bos lo. Apalagi perusahaannya tergolong kecil. Kalau atasannya gak becus ngurusin, gampang tumbang pasti.”
Aku menyetujui analisis Abrar. Mas Ali memang berubah sejak kepergian Mas Tanu. Agak… tiran. Mas Ali bahkan tidak ragu menghubungi di hari libur dan melimpahkan pekerjaan tanpa uang lembur. Baru kini kusadari, aku mencurahkan terlalu banyak energi. Aku sampai menggadaikan waktu-waktu berharga untuk menyelesaikan proyek dadakan dan mengabaikan teman-teman serta keluarga. Sayangnya aku terlambat sadar, secinta apa pun aku terhadap pekerjaan atau perusahaan, mustahil akan berbalas. Bagi mereka, aku hanya angka. Sekalipun bekerja mati-matian hingga mati sungguhan, paling mereka hanya akan mengirim karangan bunga. Atau dalam kasus perusahaanku, hanya mengucapkan turut berdukacita.
“Fi, nganggur di umur 25 bukan aib,” kata Abrar, membuatku cukup terkejut karena tidak biasanya dia berkata demikian. “Anggap aja sekarang lo dikasih kesempatan buat istirahat. Setiap orang kan jalan hidupnya beda, kecepatan buat jalaninnya juga beda. Jangan dibawa stres, nanti lo makin kurus kayak orang cacingan.”
Cih, sudah kuduga mulut Abrar tidak semanis itu. Aku pun menyikutnya. “Jadi orang gak guna banget! Sahabat lagi sedih tuh ditawarin makanan enak, minimal es krim lah.”
Abrar terkekeh. “Malak kok galak.”
“Kalo lembut namanya minta-minta,” tukasku.
“Ya udah, ke minimarket depan yuk. Nyokap belum belanja, kulkas kosong.”
Namun, rencana tinggal rencana sebab begitu keluar dari rumah Abrar, aku melihat sebuah mobil berhenti di depan rumahku. Perempuan bertubuh semampai dengan rambut ikal itu adalah kakakku.
Dan, dia membawa koper.
***
Jadwalku setiap pagi adalah mencari lowongan pekerjaan. Sudah lebih dari seminggu sejak resign, nyaris posisi apa pun dan penempatan di mana pun kukirimi lamaran. Kondisiku ternyata masih bisa memburuk daripada saat pertama kali mendapat kabar gaji dicicil. Untuk sementara, aku beralasan kantor sedang renovasi dan karyawan diminta bekerja dari rumah. Entah berapa lama aku bisa mempertahankan alasan itu karena ibuku mudah curiga.
“Fi, mau makan ramen nggak?” tanya kakakku saat aku mengambil air di dapur.
Tentu saja aku mau, tapi kondisi keuanganku tidak mendukung.
“Aku yang traktir. Gimana?”
Maka, pergilah kami menuju mal dekat rumah. Ada restoran Jepang favorit kami di sana. Meski selalu dibandingkan dengan Nami, aku tidak membencinya. Bukan salah Namira jika adiknya, Hafika, tidak bisa menyainginya. Hubungan kami bisa dikategorikan akrab, makanya aku tahu ada sesuatu yang dia sembunyikan Nami seminggu belakangan. Setiap kali ditanya kapan suaminya pulang dari dinas luar kota yang membuat Nami mengungsikan diri ke rumah, jawabannya selalu samar.
“Kakak baik-baik aja?”
Nami meletakkan sumpit dan meneguk ocha. “Justru aku yang harusnya tanya, kamu baik-baik aja? Selama aku di rumah, kamu sibuk sama laptop terus. Lagi banyak kerjaan?”
Aku hanya meringis, tidak mau berbohong lebih jauh kepadanya.
Sepulang dari mal, aku melihat pintu kamarku terbuka lebar. Ternyata ibuku tadi hendak meminjam gunting, tapi beliau justru menemukan kertas-kertas lamaranku yang bertebaran di meja. Tanganku mulai berkeringat, jantungku berdetak tak keruan.
“Bu—”
“Surat apa ini? Rekomendasi kerja? Kamu resign? Kenapa bilangnya kantor lagi direnovasi?” cecar Ibu.
Suara nyaring Ibu membuat Nami urung masuk ke kamarnya yang berada di sebelah kamarku.
“Ada apa?” tanya kakakku.
“Hafi bohong,” jawab Ibu. “Ternyata dia resign dan masih cari kerjaan baru. Kenapa sih kamu selalu bikin orang tua sakit kepala, Fi? Kenapa kamu gak bisa baik-baik aja hidupnya kayak kakakmu? Selalu aja bikin malu!”
Aku diam. Belajar dari pengalaman, Ibu bakalan makin meradang jika kujawab.
“Makanya Ibu suruh kamu kuliah kayak Abrar, karena menggambar itu penghasilannya gak jelas! Sudah susah-susah Ibu kuliahkan di jurusan bagus, peluang kerja besar, kamu malah tetap jadi tukang gambar begitu lulus. Sekarang, gimana? Kamu pasti gak punya uang karena gaji di kantormu itu kecil. Heran, gak ada capeknya jadi beban orang tua. Sudah besar bukannya mandiri, malah bikin pusing!”
Nami mendekati Ibu. “Gak begitu, Bu. Biar Hafi jelasin dulu, pasti ada alasan kenapa dia resign tiba-tiba.”
“Halah! Dia memang suka cari gara-gara! Belum dapat kerjaan baru, berani-beraninya resign. Dia pikir cari kerja gampang? Selalu seenaknya,” balas Ibu pedas. “Mentang-mentang masih punya orang tua ya, Fi? Masih enak bisa numpang tidur dan makan sama orang tua. Contoh kakakmu ini, dari dulu gak pernah nyusahin. Selalu mandiri. Masuk kampus negeri, punya kerjaan stabil, dan sekarang sudah bersuami. Kamu? Apa yang kamu punya di umur segini?”
Gak ada, jawabku dalam hati
Selain tabungan tidak seberapa yang hanya cukup membiayai hidupku selama beberapa bulan, serta portofolio yang tidak sinkron dengan ijazah. Aku tahu Ibu pasti marah, tapi aku tidak menyangka beliau akan mengeluarkan kalimat-kalimat kejam itu. Terus, Ibu bilang apa tadi? Numpang? Jadi, aku hanya dianggap orang numpang, bukannya seorang anak? Sebenarnya aku anak kandung atau dipungut dari jalanan?
Kakakku terlihat hendak membalas, tapi aku mendahuluinya. “Aku resign bukan karena mau, Bu. Terpaksa. Gajiku dari bulan lalu dicicil, bulan ini malah nihil. Daripada kerja rodi, aku resign supaya lebih fokus cari kerja baru.”
“Tuh kan! Makanya dari awal kamu tuh harusnya nurut sama Ibu!” hardiknya. “Coba kalau kamu ikut tes CPNS sungguh-sungguh dari tahun lalu, pasti gak akan begini.”
Mataku mulai panas. “Atas dasar apa Ibu bilang aku gak sungguh-sungguh? Cuma karena aku belum lolos, kenapa Ibu nilai aku gak serius? Gak semua orang bisa sesempurna Kak Nami, Bu. Biarpun dia kakakku, kami beda. Ibu gak bisa main pukul rata.”
“Ibu cuma kasih contoh. Contoh, Hafi! Apa sih susahnya mencontoh kakakmu yang—”
“Yang sekarang akan bercerai dengan suaminya.”
Pengakuan kakakku itu membuat aku dan Ibu terdiam. Meski curiga ada sesuatu yang tidak beres dalam rumah tangga kakakku, aku tidak menyangka sampai seburuk itu. Jika menganggur adalah kata yang haram disandang dalam keluargaku, maka janda dianggap lebih buruk dibandingkan itu. Bisa habis menjadi bulan-bulanan. Ibu bahkan merosot ke tempat tidurku, memegangi dadanya dengan tampang shock.
“Aku gak sempurna, Bu. Aku manusia biasa. Kalau selama ini aku bagus di bidang akademik dan karier, itu semua rezeki. Hafi sudah berusaha. Bukannya dukung, Ibu malah memojokkan. Ini masa sulit, Bu. Harusnya kita saling bantu. Dan, tolong, berhenti membandingkan kami. Aku gak sebaik yang Ibu pikir,” ujar Nami kelewat tenang.
“Tapi… cerai? Kenapa harus cerai, Nami?” kejar Ibu.
Aku melihat kesedihan di wajah kakakku.
“Aku gak kuat menghadapi keluarga Mas Reza. Lima tahun menikah, mereka menyalahkanku yang katanya gak bisa kasih keturunan, padahal selama ini Mas Reza yang gak mau periksa ke dokter. Terus kemarin… aku lihat Mas Reza jalan sama perempuan lain. Bukannya minta maaf, dia justru bilang akan menikahi perempuan itu. Aku sudah mengajukan gugatan cerai. Aku… gak mau hidup begini selamanya.”
Jika Ibu berkata kakakku seharusnya menerima saja dipoligami, aku akan murka. Namun, Ibu justru tersedu seraya memeluk kakakku. Keduanya menumpahkan tangis di kamarku, sementara aku tidak memiliki tempat di antara mereka. Perlahan, aku melangkah keluar. Rasanya sesak. Langit Kota Bekasi terlihat mendung, seakan mencerminkan perasaanku. Selain sedih karena perkataan Ibu, aku pun berduka karena musibah yang menimpa kakakku. Meski beban kami berbeda, bukan berarti salah satunya lebih mudah ditanggung.
Aku menarik napas panjang, sibuk berpikir bagaimana harus menghadapi Ayah nanti. Seolah mendapat pekerjaan baru belum cukup sulit, aku masih kelimpahan komentar nyinyir.
Kakakku datang dengan wajah sembap, lalu mengajakku pergi ke taman. Menjelang petang, anak-anak yang bermain layangan di musim kemarau bergegas pulang. Aku dan Nami berhasil mendapat sedikit privasi.
“Gimana keadaan kamu sekarang?” tanya Nami.
Aku mendesah. “Secara mental, aku capek, Kak. Kepikiran gaji yang masih belum dibayar kantor lama. Kerjaan baru juga belum ada kabarnya. Tabunganku cukup buat beberapa bulan, tapi Kakak tau sendiri kan keluarga kita kayak gimana? Tadi aja Ibu sedrama itu.”
“Nanti kita ngomong baik-baik sama Ayah,” balasnya. “Keluarga kita memang kurang bagus komunikasinya. Tolong maklumi Ibu. Dia sayang sama kita, tapi kadang cara menunjukkannya kurang tepat.”
Hening sejenak.
Bukan karena aku tidak setuju, tetapi aku tahu kakakku benar. Orang tua kami hanya kurang sabar dan gemar berkomentar, yang tanpa sadar melukai anak-anaknya.
“Kakak sendiri gimana?” tanyaku kemudian. “Masalah Kakak—”
“Bisa aku selesaikan, biarpun jelas gak mudah.” Nami menepuk punggung tanganku. “Sama kayak kamu, aku pun sedang berproses. Aku yakin kita bisa melalui ini. Namanya hidup, pasti ada senang dan sedih. Akan ada lebih banyak sakit, tapi bukan berarti kita harus berhenti. Kita bisa mulai dengan ngobrol sama Ibu dan Ayah. Harus memperbaiki komunikasi. Setelah itu, kita cari solusi.”
Aku menggigit bibir. “Lebih gampang teori daripada praktik.”
Tanpa kusangka, Nami tertawa. “Kalau teorinya aja susah, praktiknya bisa jadi mustahil. Ayo, adikku bukan orang yang bakal menyerah sebelum perang. Kita hadapi sama-sama. Oke?”
Pada detik itu, aku sadar mengapa kakakku dicap sempurna. Bukan karena dia tidak memiliki kekurangan, tetapi karena dia hebat dalam menyikapi setiap cobaan. Pastilah selama ini dia kesulitan dalam berbagai hal, hanya saja reaksinya yang membuat perbedaan.
Seperti yang selama ini Ibu ocehkan, aku akan mencontoh kakakku.
***
Setelah rapat keluarga dadakan yang diwarnai sedikit bumbu omelan, akhirnya kami mencapai mufakat. Komunikasi kami tidak seharusnya berjalan satu arah dan jika bisa, orang tua kami mengurangi kadar komentar pedas. Aku dan Nami sama-sama menyuarakan segala yang menjadi ganjalan. Ayah dan Ibu tidak langsung menerima, bahkan perang dingin sempat melanda, tetapi keadaan membaik beberapa hari kemudian. Kami benar-benar berkomunikasi.
Aku pun mencoba membuka usaha sendiri. Mulai dari jasa membuat ilustrasi, sampul buku, sampai membuat kartu pos atau pembatas buku. Dengan bantuan Nami yang tergabung dalam komunitas bookstagram, bisa dibilang usahaku berhasil berjalan. Karena belum terlalu yakin akan penghasilannya serta tidak mau membuat orang tuaku kembali murka, aku tetap berburu pekerjaan di luar.
“Fi, lagi ramai buku ini nih di bookstagram,” ujar Nami seraya menunjukkan buku berjudul Shadow & Bone. “Serialnya baru tayang sih di Netflix. Bikin desainnya deh buat bookmark, sarung bantal atau apa gitu. Nanti aku bantu promosi.”
Sambil mengangkat kedua jempol, aku menyanggupi. “Nanti malam ceritain ya, terus infoin kutipan apa yang paling disukai.”
Nami mengangkat alis. “Kenapa nanti? Sekarang kamu mau ke mana?”
“Reuni SMA. Sebentar lagi dijemput Abrar,” jawabku seraya meraih tas dan memasukkan ponsel ke dalamnya.
“Cieee…” goda Nami sambil terkekeh pelan, dia terlihat nyaman bersandar di kosen pintu kamarku, tidak ada tanda-tanda akan menepi. “Kapan kalian bakal jadian? Aku gemas lihatnya.”
“Kak Nami ketularan Ibu, deh!” protesku.
Kakakku tergelak, lalu berpesan agar aku bersenang-senang. Sejauh ini sudah ada beberapa panggilan kerja untukku, tetapi belum ada yang cocok. Entah gajinya terlalu kecil atau jam kerjanya kurang manusiawi. Tidak apa-apa, menganggur di usia 25 tahun bukan akhir dari dunia. Hidup akan terus berjalan. Bisa dikatakan berkat menganggur, aku punya keberanian memulai sesuatu yang baru. Meski belum besar, aku sangat menikmati proses membuat desain untuk bisnis kecilku.
“Kakak lo heboh banget dadahin gue dari jendela,” ucap Abrar ketika aku menerima uluran helm darinya.
Melirik ke belakang, aku menyipitkan mata karena yang diucapkan sahabatku benar. Astaga, kakakku itu memang kelebihan tenaga.
“By the way, kemarin papasan sama nyokap lo di depan rumah, terus dia nanya kapan gue ngelamar lo.”
Kali ini aku memelotot. “Ngadi-ngadi lo!”
Abrar terbahak. “Kenapa, sih? Gue calon suami idaman, lho. Bisa bantuin kerjaan rumah, punya tabungan, ganteng, dan nggak sombong—”
“Merinding, woi!” protesku. “Ayo, jalan.”
Masih sambil tertawa, Abrar menyalakan mesin motor dan kami pun berangkat.
Saat ini, di umur 25 tahun, aku memang belum punya apa-apa yang bisa dibanggakan secara materi. Namun, aku memiliki diriku sendiri, yang terus berkembang dan belajar dari diriku di hari kemarin. Selama aku terus berusaha agar menjadi lebih baik, maka itu saja sudah cukup.
Aku cukup untuk diriku sendiri.
_______
Quarter Life Plight merupakan cerpen pemenang
Kompetisi Menulis Fiksi Jenius Co.Create.
Mau cerpenmu di-publish? Yuk submit naskahmu di sini!
Comments ( 6 )