Ternyata Kak Haifa ini sosok di balik “CMU!” yang selalu kubaca tiap pagi! 😀
Ada satu pertanyaan yang sering kali kudapatkan ketika membangun Catch Me Up!. Pertanyaan ini datang dari kawan, keluarga, rekan kerja, hingga calon investor, “Why do you do it?” Kenapa dengan lanskap media yang sudah sangat ramai saat ini, aku memilih untuk memulai bisnis media juga? Dan jawabanku adalah, “Kita butuh lebih banyak perempuan di dapur redaksi.”
Membangun startup bukanlah perkara gampang, dan kita tentu sering kali mendengar soal itu. Namun, membangun startup sebagai seorang perempuan tanpa latar belakang digital dan hanya memiliki pengalaman entrepreneurship yang sangat terbatas? Nah, ini beda cerita.
Ketika memutuskan untuk memulai Catch Me Up!, sebuah newsletter harian yang merangkum berita-berita terkini dalam satu e-mail yang dikirim tiap Senin sampai Jumat pukul 06.00 WIB, aku gak punya banyak pertimbangan. Yang aku tau, waktu itu aku suka banget sama menulis—dan menurutku hal tersebut merupakan salah satu skill terbaikku. Di sisi lain, sebagai wartawan, aku sadar bahwa ada kekosongan yang belum terisi di landscape media kita.
In a nutshell, aku mau bikin media sendiri yang punya perspektif gender, gampang dipahami, gak clickbait, gak banyak pop-up ads, dan to the point. Lalu pada tahun 2019, Catch Me Up! akhirnya hadir. Bermodalkan rasa nekat dan prinsip “mulai aja dulu”, aku mengirimkan e-mail pertama buat yang sudah subscribe. Dari situ, kami terus berkembang. Bahkan kini Catch Me Up! telah memiliki lebih dari 50 ribu pelanggan yang membuka e-mail dari kami setiap harinya. Kami jadi pionir berita berlangganan berbasis e-mail newsletter pertama di Indonesia, dengan jumlah open rate yang tinggi, yakni sekitar 40-50%.
Ada satu pertanyaan yang sering kali kudapatkan ketika membangun Catch Me Up!. Pertanyaan ini datang dari kawan, keluarga, rekan kerja, hingga calon investor, “Why do you do it?” Kenapa dengan lanskap media yang sudah sangat ramai saat ini, aku memilih untuk memulai bisnis media juga? Dan jawabanku adalah, “Kita butuh lebih banyak perempuan di dapur redaksi.”
Mengapa? Inilah beberapa alasannya.
1. Media di Indonesia Terlalu Maskulin
Mungkin gak semua media di Indonesia demikian, tapi sering kali kita menemukan tulisan di media yang kerap menyudutkan kaum perempuan. Misalnya, ketika ada pemberitaan tentang perempuan yang jadi korban kekerasan. Kerap kali kita membaca headline: “Gadis cantik ini dipukuli…” Apa hubungannya gadis cantik dengan tindakan kekerasan yang dilakukan pelaku?
Aku juga pernah menemukan satu artikel di media nasional yang berbunyi, “Perbandingan artis A dan artis B, mana yang lebih cantik?” Judul artikel seperti ini sangatlah berbahaya. Selain karena mengobjektifikasi perempuan, artikelnya juga mereduksi kualitas perempuan itu ke penilaian “cantik” saja. Padahal, seperti yang kita tau, manusia itu multidimensi. Mereka punya wajah, tapi juga punya pola pikir, sikap, serta pandangan yang juga harusnya jadi pertimbangan. Berangkat dari hal-hal seperti ini, aku sadar bahwa jika aku ingin mengubah tone pemberitaan yang kerap kali maskulin dan mengobjektifikasi kaum perempuan, kita harus mendudukkan lebih banyak perempuan di posisi tertinggi di meja redaksi—which leads me to my second point.
Baca juga: Diam Bukan Berarti Setuju, Kita Harus Paham Soal Consent
2. We Need More Women in Top Positions
Sebelum memulai Catch Me Up!, aku bekerja dua kali sebagai wartawan di media. Dalam keduanya, aku menyadari bahwa komposisi laki-laki di meja redaksi selalu jauh lebih banyak dibandingkan perempuan. Penyebabnya mungkin gak selalu karena faktor diskriminasi gender di dunia kerja (walaupun hal ini mungkin terjadi), tapi juga faktor sosial di mana pekerjaan sebagai wartawan itu sangat menyita waktu. Kita harus banyak turun ke lapangan, bertemu narasumber, bahkan rapat hingga larut malam; dan hal ini menyebabkan sulitnya menjalani pekerjaan ketika seorang perempuan sudah menikah.
Dengan begini, secara alamiah, angka perempuan yang terus berkarier di media jadi terus berkurang, yang mana hal ini berujung pada makin sedikitnya representasi mereka di meja redaksi, khususnya di posisi strategis. Dengan komposisi ini, maka gak heran kalau “tonality” dari banyak media kita menjadi sangat maskulin karena memang gak banyak perempuan di posisi pemegang kebijakannya. Namun, yang perlu diingat, populasi perempuan di Indonesia hampir sama dengan angka laki-lakinya. Bahkan data statistik PTN 2019 menunjukkan bahwa jumlah mahasiswi lebih banyak dibandingkan mahasiswa. Artinya, we have more educated woman now, more than any other timeline in our history.
Dengan demografi seperti ini, sangat gak ideal ketika suara yang dominan muncul di timeline pemberitaan dan media kita hanya suara dari satu gender. We need more women in our newsroom, dan aku sangat beruntung karena bisa memulai Catch Me Up! sendiri. Di Catch Me Up!, sebagai CEO, aku memastikan bahwa kesetaraan gender adalah agenda utama redaksi, dan setiap tulisan kami harus bisa mengedukasi pembaca terkait pandangan tersebut.
3. Changing the “Female Media” Perspective
Ketika berbicara tentang “media perempuan”, kerap kali hal yang muncul di pikiran adalah media yang membahas tentang makeup, fashion, tren terkini, hingga tips 3R (dapur, sumur, kasur). Bukan berarti hal-hal tersebut buruk, tapi kembali ke poin dua, sangat disayangkan bahwa dengan demografi perempuan yang makin berpendidikan, bacaan mereka harus direduksi hanya ke hal-hal yang domestik. Padahal dengan makin banyaknya perempuan yang terdidik dan berkarier, maka banyak juga perempuan yang peduli dengan isu-isu penting di sekeliling mereka seperti ekonomi, politik, hubungan internasional, hingga teknologi. Faktanya, saat ini 75% dari pelanggan Catch Me Up! adalah perempuan, dan sekitar 40% di antaranya adalah first-jobbers (20%-nya mahasiswa). Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa Indonesia punya komposisi perempuan-perempuan terdidik yang cerdas, career-driven, dan well-informed. Dan merekalah yang menginspirasi Catch Me Up! untuk terus berkembang.
Saat ini, perjalanan kami di Catch Me Up! masih sangat jauh untuk bisa mewujudkan kesetaraan gender yang ideal di tanah air. Namun sejarah menunjukkan bahwa semua pergerakan sosial bisa tercapai ketika aksinya dimulai, dengan satu langkah kecil. Karenanya, yuk kita lakukan apa yang kita bisa, dengan apa yang kita punya, untuk apa yang kita percaya. Seperti kata pepatah Tiongkok, “A Journey of a thousand miles begins with a single step.” In our case, one e-mail at a time. What about you?
Comments ( 1 )