Kesimpulannya, “Membaca itu soliter, hanya ada kita dan kata-kata.” Tulisannya keren, Guh!
Jauh… jauh sekali dari Jakarta, toko buku sama langkanya dengan kata setia. Selain memang buku bukan barang primer buat kebanyakan orang kabupaten, tapi juga karena aktivitas membaca adalah hal langka nan aneh kalau dilakukan di luar bangku sekolah.
Perpustakaan sekolah—yang koleksinya sedikit dan dijaga pustakawan yang gak terlalu cakap menjelaskan—jadi tempat saya menemukan buku tipis yang mengubah hidup saya.
Padang Ilalang di Belakang Rumah karya Nh. Dini. Novel tipis yang saya pilih itu ternyata bikin saya begitu mencintai buku, memahami ternyata cerita menyimpan banyak rahasia.
Saya yang masih belia tentu gak tau apa itu genre dalam karya, apa itu sastra, apa itu young adult, dan term lainnya. Yang saya ketahui saat itu cuma cerita buku itu mengikat dari halaman pertama sampai akhir.
Kenikmatan membaca dan menemukan cerita itu yang ajek dan berharap bakal begitu. Dan, saya suka! Namun, ketika mulai beranjak tua dan makin berkenalan dengan banyak judul, gak jarang muncul kecenderungan saling menghina bacaan: book shaming.
Secara sederhana, book shaming adalah ketika kita merasa lebih hebat dengan bacaan tertentu dan bacaan orang lain di bawah beberapa tingkat. Perasaan merasa benar yang sangat membahayakan.
Misalnya: Baca Tetralogi Buru lantas menghina yang membaca karya Rintik Sedu. Yang menekuri Madilog ikut menghujat pembaca Boy Candra. Yang tekun dengan karya-karya Amerika Latin cenderung memandang sebelah karya-karya dari Wattpad. Ada yang merasa lebih hebat setelah rampung Cantik Itu Luka, seketika ogah dengan buku penuh ilustrasi.
Seolah cara masing-masing menemukan kebahagiaan haruslah homogen alias sama.
Baca juga: Cara Jenius Menulis di Co.Create
Membaca itu soliter
Seperti saya versi muda yang menemukan Padang Ilalang di Belakang Rumah, membaca dan buku sangatlah personal dan soliter. Asasi masing-masing yang gak bisa dicampuri oleh persoalan orang lain.
Kalau kita meyakini hal ini, tentu menghina bacaan dan selera orang adalah tindakan yang melewati batas personal—sama tabunya seperti menanyakan isi buku tabungan.
Membaca dan buku terjadi di ruang-ruang privat, meski dilakukan di ruang publik. Karena membaca berkaitan dengan kebutuhan dan kecenderungan masing-masing. Saya kala bocah yang menemukan Padang Ilalang di Belakang Rumah, akan punya cerita berbeda kalau menemukan buku lain.
Kebahagiaan bersua dengan buku pada waktu tertentu erat kaitannya dengan latar belakang pembaca (baik pengalaman, agama, pendidikan, sosial, dan sebagainya), kecenderungan isu, atau bahkan konsen yang sedang diminati.
Satu pengingat dari Orhan Pamuk, “Alasan untuk membawa sebuah buku di saku atau tas, terlebih ketika suasana penuh kesedihan, adalah obsesi pada dunia lain—dunia yang membawa kebahagiaan.”
Karena memang sesimpel itu: bacalah hal yang bikin kamu bahagia!
Dalam era media sosial seperti sekarang, aktivitas membaca turut hadir di sana dengan ragam intensi yang valid. Mungkin ini yang jadi alasan mengapa menghina bacaan orang makin marak. Gak bisa disalahkan juga, sebab sebagaimana kaidah dalam media sosial, user bebas dan merdeka.
Media sosial juga cenderung membuat gelembung pada paparan kita. Kebebasan di media sosial hanyalah ilusi sebab ujung-ujungnya mengikat pengguna dengan gelembung rekaan. Manusia cenderung sempit berpikir, sehingga gak terbuka dengan ragam bacaan dan buku. Mungkin ini pula yang menyebabkan orang cenderung berani menghujat bacaan orang.
Baca juga: Cara Hidup SLOW ala Kungkang
Genre: sesuatu yang bisa diterobos
Di rak-rak toko, buku-buku dikelompokkan berdasarkan genre. Dalam penelitian akademis pun genre bisa jadi studi mendalam untuk mendekati sebuah karya.
Lantas, apakah ada genre yang lebih tinggi nan mulia dibandingkan genre lain? Sebuah genre lebih adiluhung dibanding genre lain? Jawabannya tidak! Absolut tidak!
Dewasa ini, genre menjadi sangat cair. Batasnya kadang-kadang sangat sumir. Puisi dan prosa bisa digabungkan, bisa menjadi novel yang ditulis dengan sangat puitis. Ada juga puisi yang dituturkan seperti prosa. Batasannya sangat cair.
Selain genre, yang sering dijadikan bahan cemoohan adalah jenjang usia. Di Indonesia kita kenal buku anak, teenlit, chicklit, dan sebagainya.
Apakah itu menandakan jenjang pemikiran pembaca, sehingga yang membaca teenlit selalu ada di bawah yang membaca chicklit? Bukan! Bahkan menurut saya itu sekadar cara mudah toko mengelompokkan buku, hingga gampang ditemukan oleh penjaga toko buku.
Bukan jaminan yang membaca buku-buku “berat” lebih bijak bersikap dibanding mereka yang membaca buku-buku romansa. Saya suka sekali mengambil contoh kasus novel Frankly in Love karya David Yoon.
Novel ini dikelompokkan ke kelas young adult, kategori yang mungkin secara sederhana dimasukkan ke kategori remaja hingga dewasa muda. Sebab memang didominasi oleh romansa meski ada keterkaitannya dengan perkara besar yakni politik identitas.
Namun, saya yakin novel karya Yoon ini meramu persoalan identitas yang juga dibahas dalam novel-novel sastra kita. Proses mencari identitas para tokoh, gesekan yang lawas dan yang modern dalam novel itu sangat menarik juga dibahas dengan teori sastra—bila dikehendaki.
Baca juga: Pembaca Seperti Apakah Kamu?
Ada satu komentar di Goodreads perihal novel Lebih Senyap dari Bisikan karya Andina Dwifatma yang dinobatkan sebagai novel sastra terbaik Majalah Tempo 2021. “….berkaca pada novel ini, sebenarnya sinetron Indosiar berpotensi juga jadi karya sastra adiluhung.”
Urusan adiluhung—tinggi mutunya—sangat tergantung banyak hal, juga gak kaku.
Dua kasus di atas seharusnya meyakinkan kita bahwa apa yang dinamakan genre sekadar tuntutan toko dan kebutuhan akademis. Pilihan ada pada penulis. Pembaca siapa pun punya kemampuan menelaah dan menyaring kebajikan dari bacaan apa pun. Gak ada yang sah dan berhak mencerca.
Ada juga kaidah, dulce et utile, menyenangkan sekaligus bermanfaat. Ini yang seharusnya meyakinkan pembaca bahwa semua urusan menarik pelajaran adalah tugas dan kebajikan pembaca.
Penulis selesai menghadirkan tulisan yang paripurna. Pembaca bertugas mencurigai semua motif dan menarik hal penting sesuai perspektif masing-masing.
Sampai di sini, masih berpikir bacaanmu lebih apik dari bacaan orang lain? Yang ada hanyalah selera. Kemampuan “menyerap” dipersilakan ke masing-masing.
Baca juga: Cerita Fiksi – Rahasia di Balik Kematian
Kecenderungan mudah silau
Saya juga mencurigai sesuatu yang akut di pembaca Indonesia. Meski saya berharap asumsi saya ini keliru. Kebanyakan dari kita lebih suka “mencerca” bacaan lokal dan gampang kagum pada bacaan yang datang dari luar. Seolah selalu yang datang dari luar lebih baik dibandingkan bacaan lokal.
Hal ini juga membahayakan, terlebih kalau diam-diam bercokol di bawah alam sadar kita. Bukan cuma mematikan kreativitas penulis lokal, tapi juga kecenderungan white supremacy akut di benak kita.
Secara gak sadar kita selalu berkata “bagus” bila itu ditulis oleh orang asing. Sebaliknya kita cenderung meremehkan karya penulis lokal. Kalau kita gak mengoreksi, bisa jadi ini adalah sisa-sisa mental terjajah yang mengakar di budaya Indonesia.
Namun, bukan berarti kita boleh menjadi gatekeeper yang mengaleniasi karya-karya anak bangsa. Ini juga bentuk book shaming yang tanpa kita sadari, sudah kita jalani jauh-jauh hari.
Menyingkirkan karya dengan ragam alasan; mulai dari tema, gender penulis, tema, atau bahkan dinomorduakan sebab ada karya asing yang harus dinomorsatukan.
Saya ingin sekali mengembalikan membaca dan akrab dengan buku ke ruang privat meski dikerjakan di ruang publik. Media sosial adalah etalase dan rumah masing-masing pengguna.
Sebagaimana kita merdeka berkomentar, mereka juga merdeka memajang apa pun termasuk bacaan. Dan sebagai penonton luar, kita gak bisa merecoki apa yang mereka unggah di lapak masing-masing.
Membaca lagi-lagi hanya berkaitan dengan kita dan kata-kata. Selama kata-kata dalam buku membuat kita bahagia, membuat kita betah dari halaman awal hingga pungkasan. Itu sudah cukup.
Apa pun genrenya, berapa pun rentang usianya, dari mana pun asal cerita, valid. Orang lain gak bisa mendikte bacaan kita. Dan kita gak berhak merecoki bacaan orang lain. Sebagaimana makanan, buku dan bacaan adalah selera dan tergantung kebutuhan.
Catatan: Judul tulisan ini meminjam judul esai Orhan Pamuk, “On Reading: Words or Images”, dalam buku Other Colors. Kutipan Orhan Pamuk yang diterjemahkan pun diambil dari esai yang sama.
Comments ( 2 )