Hi Co.Creators! Perkenalkan, nama saya Tia. Kini saya bekerja sebagai salah satu Quality Gate di Jenius. Sebelum memulai karier, saya berkuliah di Universitas Bina Nusantara, jurusan Sistem Informasi. Bukan jurusan yang saya idamkan pada awalnya, tetapi kemudian saya menyukainya hingga selesai sidang skripsi pada akhir tahun ketiga saya kuliah.
Sambil menunggu jadwal wisuda, saya menyambi untuk mencari pekerjaan. Pekerjaan pertama saya adalah sebagai Web Developer. Saat itu saya belajar menjadi seorang web programmer. Yang menarik, kalau sedang mengalami kesulitan dengan coding, bisa sampai terbawa mimpi mengerjakan coding tersebut lho. Terkadang saya suka memaksakan bangun buat menulis solusi coding-nya sehingga bisa diimplementasikan keesokan harinya, hehe.
Setelah wisuda, saya bekerja sebagai salah satu IT Support untuk suatu balai lelang. Membuat website, juga testing dan manage data terkait perlelangan. Pekerjaan yang menarik karena saya jadi tau cara lelang profesional kayak gimana. Yang dilelang pun mulai dari lukisan ternama sampai traktor-traktor besar yang ada di tambang. Selang beberapa waktu, saya mendapatkan tawaran pekerjaan di salah satu perusahaan startup di Indonesia. Lokasi persisnya di Pulau Bali, di mana tempat ini awalnya direncanakan untuk jadi Silicon Valley-nya Indonesia. Nama tempat itu adalah Balicamp.
Baca juga: Jenius UX Writers: Kisah, Kesah, Petuah
Nah, di situlah awal mula saya bekerja sebagai Tester, atau yang kerennya disebut Quality Assurance (QA). Saya bersyukur di tempat ini working environment dan culture-nya dibentuk dengan sangat fun dan fully support terhadap siapa pun yang baru bergabung. Pekerjaan tetap berdasarkan ‘result oriented’. Dan satu hal yang paling bikin saya happy adalah ketika saya gak perlu memikirkan dress code atau gaya rambut setiap saya berangkat bekerja. Di sana kami bebas memakai baju apa saja, bahkan bercelana pendek dan sandal jepit juga gak masalah lho! Asyik, kan?
Belajar jadi seorang QA di sana gak cuma belajar mengenai technical things, tapi juga strategy testing, cara bikin test cases, pembagian test cases, cara testing yang cepat dan tepat, termasuk belajar kepemimpinan. Nah, ada satu hal menarik terkait leadership. Di sana saya belajar menjadi leader karena kepepet. Salah satu leader saya kebetulan harus cuti panjang dan saya yang akhirnya didapuk buat memimpin sebuah proyek. Akhirnya saya terpilihlah, mungkin karena cuma saya yang berani mengajukan diri kala ditanya oleh manajer.
Di dalam proyek tersebut saya belajar cara me-manage test cases dan me-manage orang-orang. Buat test cases, saya yakin banget bisa karena itu hal yang bisa saya pelajari sendiri dengan gampang: mulai dari add, edit, create, sampai mendistribukan test cases ke beberapa team mates untuk dieksekusi. Kala itu masih menggunakan Excel sheet dengan ratusan test cases. Kebayang gak ribetnya?
Baca juga: Diam Bukan Berarti Setuju, Kita Harus Paham Soal Consent
Yang saya gak pernah duga adalah ketika harus me-manage manusia alias people. Karena mengatur teman-teman yang notabene selevel, saya harus bisa mengontrol diri ketika mengetahui salah satu teman saya asyik ‘bermain’ games daripada menyelesaikan tugasnya, padahal deadline sudah ada di depan mata.
Setelah diskusi dengan manajer saya, saya akhirnya berani menegur teman tersebut dan tetap menunggunya sampai larut malam, bahkan sampai pagi hingga dia selesai mengeksekusi test cases-nya. Kemudian saya menggabungkan hasil testing kami semua untuk di-review sebelum di-submit. Dari sanalah saya belajar membedakan hubungan antara teman dan co-workers, serta berani tegas serta bertanggung jawab terhadap apa yang sedang ada di pundak saya.
Pengalaman tersebut yang membuat saya belajar untuk jadi seorang leader. Bukan hanya sekadar bisa melakukan tugas pekerjaan, tapi juga harus bisa me-manage orang-orang terkait pekerjaannya—termasuk mengecek dan menggabungkan hasil test result yang sudah dijalankan teman-teman dan memastikan test result-nya sudah sesuai.
Baca juga: Perempuan di Startup Digital: Breaking the Glass Ceiling
Pekerjaan dan pengalaman di Balicamp ini juga membuat saya menyadari bahwa posisi QA ini sangat diperlukan di dunia IT. Karena sebelumnya saya punya pengalaman singkat sebagai developer yang juga membuat saya memahami konsep sebagai developer yang memiliki concern di development program, yang kadang pola pemikirannya lebih ke arah develop requirement dan kurang memahami konsep sebagai pengguna.
Kembali ke Jakarta, karena alasan keluarga, saya menjalani beberapa pekerjaan sebagai QA untuk memantapkan pengalaman kerja lebih banyak lagi. Banyak yang mengira (bahkan sampai saat ini) pekerjaan QA hanya sebagai Test Executor. Padahal sih gak demikian. Seorang QA dituntut lebih dari sekadar seorang Test Executor. Seorang QA harus bisa melihat perspektif yang lebih luas. Bukan cuma dari sisi yang disebutkan di requirement oleh Product Owner, tapi juga harus melihat dari sisi pengguna termasuk dari kondisi environment si pengguna. QA juga harus bisa menganalisis berbagai isu yang mungkin akan terjadi terkait situasi dari kondisi tertentu di aplikasi yang sedang dites.
Pengalaman-pengalaman di berbagai tempat ini akhirnya membuat saya berkeinginan untuk membuat QA—bahkan menjadi QA terbaik di negeri ini. Banyak wejangan atau mungkin omongan dari para leader saya sebelumnya yang sangat memengaruhi perjalanan leadership saya.
Baca juga: Perempuan Perlu Mandiri, Tapi Gak Boleh Lupa Diri
Pertama, kata-kata yang terkait dengan TLC (tender loving care). Ketika jadi atasan, tetaplah baik dan care terhadap team mates. Kedua, yang sangat memengaruhi saya adalah quote, ‘A good leader is the one who can create another leader.’
Dua hal tersebut yang membuat saya termotivasi untuk create another good leader di setiap kesempatan menjadi seorang leader, termasuk membuat standar-standar quality testing yang tentunya akan bermanfaat buat penerus-penerus QA, gak cuma di Jenius tapi bahkan di perusahaan-perusahaan lainnya.
Jadi bagi saya, ketika menjalankan suatu hal, apa pun bidangnya; baik itu seorang QA, developer, ataupun mungkin entertainer sekalipun, bayangkan dan fokuskan diri menjadi seorang pemimpin yang gak cuma bisa membuat timnya bekerja, tapi juga bisa menjadi pemimpin yang TLC dan bisa melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang bahkan jauh lebih baik daripada dirinya sendiri.
Baca juga: Inspirasi Membangun Merek di Tengah Ketidakpastian
Tentunya, gak semua leader itu bagus, makanya saya sering menekankan ke teman-teman, juga ke diri sendiri, untuk selalu mengambil positif dari sosok leader dan buang negatifnya. Dan ketika sudah menjadi pemimpin, selalu berusahalah menjadi pemimpin yang adil dan bisa menginspirasi banyak orang.
Semoga kamu juga bisa jadi leader yang TLC ya, Co.Creators!
Salam sayang selalu dari saya,
Tia.
Comments ( 0 )