Intinya sih harps “cintai” diri sendiri dulu yaaa… :`)
Coffee shop mungil yang terletak di salah satu sudut Dharmawangsa tampak sangat sibuk. Bukan oleh ojek online yang antre pesanan, melainkan para kaum pekerja di SCBD yang menguarkan wangi parfum Jo Malone, berkalungkan lanyard perusahaan start-up, dan memakai sneakers jutaan. Kamikopi, kedai kopi tersebut, belakangan viral karena latte art yang bisa dibikin sesuai permintaan—dengan catatan harus datang sendiri. Itulah alasan banyak orang yang rela antre di sana, mengorbankan jam makan siang mereka
“Demi konten,” ujar Kara sambil geleng-geleng melihat barisan orang yang kebanyakan menunduk menatap ponsel.
“Ide gue bagus, kan?” balas Jenny yang duduk di seberang Kara.
Kara tertawa melihat mata Jenny yang berbinar mengagumi pelanggan yang memenuhi coffee shop yang dia rintis sendiri, persis seperti mengagumi mahakarya. Perlu Kara akui, ide Jenny memang brilian. Sahabat akrabnya itu memang punya otak bisnis sekaligus privilese yang oke–orang tua tajir yang mensponsori dibangunnya coffee shop ini. Memanfaatkan privilese dengan baik bukan skill yang dikuasai semua orang, tapi Jenny berhasil menggunakannya.
Kara melirik ke bar tengah, tampak dua barista sibuk dengan latte art; satu orang lainnya sibuk mencatat pesanan dan menerima pembayaran. Menatap barista dengan tato gelas kopi kecil di pergelangan tangan membuat Kara lagi-lagi kagum dengan kelihaian Jenny. Selain memanfaatkan privilese dengan baik, Jenny juga memanfaatkan sahabatnya sendiri. Barista bertato kopi itu adalah sahabat mereka, yang atas kecintaannya terhadap kopi, sukarela bekerja di Kamikopi dan melukis ratusan latte art setiap hari. Menempatkan orang pada potensi terbaiknya, memang itulah kelebihan Jenny.
Memasuki usia hampir kepala tiga, Kara juga menyadari dua hal yang menjadi kelebihannya: mengatur keuangan dan jodoh orang. Setidaknya, itulah yang dia simpulkan berdasarkan obrolannya dengan Jenny sejak pagi tadi.
“Jadi, pajak jadian gue cuma kopi sama croissant doang nih?” ledek Kara.
Jenny memutar bola matanya. “Setahun penuh, beb. Kurang lama?”
“Coffee shop lo bisa tahan setahun gak?” ledek Kara lagi. Memang, kalau sudah sahabatan lama, yang keluar dari mulut seringnya adalah kata-kata sampah. Tidak ada hak untuk tersinggung atau sakit hati karena sudah sama-sama tahu dan bebas menyerang balik.
“Lambung lo bisa tahan gak setahun ke depan ngopi mulu?” balas Jenny cengengesan.
Kara tertawa. Benar juga.
“By the way, Ra,” lanjut Jenny, “ini semua masih terasa surreal. Gue bisa jadian sama Gilbert secepat ini, semuanya berkat elo.”
“Yaaa… Gilbert kan sejak awal emang tertarik sama lo.”
Jenny dan Gilbert jadian, juga merupakan mahakarya Kara. Dia percaya kalau keajaiban bisa terjadi dalam satu malam; hanya butuh waktu sebentar untuk jatuh cinta—if it meant to be. Namun, butuh upaya-upaya kecil di belakang keberhasilan ini. Kara masih ingat taktiknya: meyakinkan Jenny untuk menyisihkan uangnya ke Dream Saver yang digunakan untuk mentraktir Gilbert. Awalnya, ide itu ditolak mentah-mentah oleh Jenny dengan alasan: “Ngapain? Gue gak harus berhemat buat sekadar beliin Gilbert kopi.”
“Duh, bukan gitu konsepnya. Udah, lo manut aja.”
Menabung bukan karena kita tidak mampu. Tapi, untuk menikmati manisnya upaya-upaya kecil yang nantinya menjadi bukit. Buktinya, begitu Gilbert mendapat mesin kopi sebagai hadiah ulang tahunnya, ditambahi cerita dari Kara bahwa hadiah itu dibeli dari hasil tabungan Jenny selama ini, sukses membuat hati Gilbert semakin mantap. She is the one, begitu pikir Gilbert. Ditambah lagi cerita dari Kara, bahwa setiap kali Jenny mengiriminya makan malam sewaktu Gilbert sedang lembur, juga adalah hasil tabungan dari Dream Saver. Gilbert, yang love language-nya adalah acts of service dan receiving gifts, tentu saja makin luluh sama Jenny.
“Terus, lo sendiri gimana, Ra?” tanya Jenny sambil menyikut lengan Kara. Kara sontak tersadar dari lamunannya. “Kapan mau cairin Dream Saver lo?”
Jenny bisa melihat jelas binar di mata Kara. Sebentar lagi, akan ada kabar baik yang menyusul. Kara adalah cewek yang tidak pernah main-main dengan perasaannya.
Her long time crush. Sejak kuliah sampai sekarang. Sejak Kara masih kere, sampai sudah bisa membeli mobil sendiri. Sejak pergelangan tangan itu masih polos sampai permanen dihiasi tato kopi. Sayangnya, Alvin adalah tipe mas-mas Jawa kalem yang tidak peka; yang kalau dikasih kode cuma bisa cengar-cengir polos. Sayangnya, itulah yang membuat Kara menyimpan rasa bertahun-tahun.
“Kenapa, Ra? Mau kopi lagi?” tanya Alvin dari balik mesin kopinya. “Jangan deh ya, nanti mag lo kambuh.
Kara tersipu sambil menggeleng, lagi-lagi terpukau oleh Alvin dan perhatiannya. Cowok itu kelihatan charming banget dengan celemek barista, Chicho Jericho mah lewat!
“Vin, sorean nongkrong bareng ya, jangan langsung pulang. Kita tungguin,” perintah Jenny, lalu mengerling ke arah Kara. Cewek itu semacam ingin balas budi, seolah ingin bilang kalau dia juga punya kemampuan yang sama dengan Kara dalam hal mencomblangkan pasangan.
Alvin mengangguk sambil tersenyum cerah, menantikan jadwal kumpul-kumpul mereka.
Alvin, Jenny, dan Kara—The Three Musketeers.
Memang benar kata orang, semakin kita beranjak dewasa, makin sedikit sahabat baik yang bisa ditemukan. Beruntungnya—atau malah sialnya?—di tengah-tengah itu Kara menemukan orang yang ia cintai. Risikonya lumayan, kalau pacaran dengan sahabat sendiri lalu putus, maka jangan harap untuk bisa tetap sahabatan. Namun perkara Alvin, Kara sudah sebodo teuing. Lagi pula, di umur segini, kalaupun hubungan cinta harus kandas, semestinya sudah cukup dewasa untuk tetap kembali menjalin persahabatan, kan?
Salah satu pos Dream Saver Kara diberi nama São Paulo—kota di Brasil yang terkenal akan pertanian kopi. São Paulo adalah impian Alvin yang sedang berusaha Kara wujudkan. Cowok itu pernah bilang kalau happy ending dalam passion-nya sebagai barista bukanlah seperti Ben di Filosofi Kopi yang akhirnya menemukan kopi tiwus. Happy ending bagi Alvin adalah mengunjungi negara kopi terbaik bagi dirinya, yakni Brasil. Dan Kara, secara sukarela, langsung mengajukan diri sebagai teman traveling. Alasannya karena takut Alvin diculik. Alvin kan jarang ke luar negeri. Tentu saja, Kara punya agenda terselubung yang diketahui seluruh dunia, kecuali mas-mas culun satu itu.
Sore pun berganti malam. Malam pun makin larut hingga Kamikopi tutup. Yang tersisa hanya lampu di dekat kasir—di dekat meja yang masih ditempati The Three Musketeers. Mereka kembali larut dalam deep talks hingga lupa waktu. Kali ini, Kara akan menyatakan cintanya dengan cara yang implisit. Tabungannya sudah cukup untuk tiket PP Jakarta – São Paulo untuk dua orang.
“Gue udah ambil cuti, dari tanggal 7-16 Februari. Soalnya tiketnya lagi murah tanggal segitu,” ujar Kara, berusaha terdengar sesantai mungkin.
Jenny meliriknya dengan tatapan ah-alesan, lalu menimbrungi, “Tuh, Vin! Kapan lagi dikasih hadiah ultah traveling ke Brasil? Ada temennya pula. Kalo gue jadi elo sih langsung sikat.”
Kalau saja Alvin bukan mas-mas beloon, pasti dia langsung sadar bahwa Kara sengaja meluangkan tanggal 14 Februari di jadwal mereka, biar mereka bisa merayakan hari Valentine di negara itu. Sungguh ide cemerlang, bukan? Tapi, Alvin, hanya nyengir kuda sambil menggaruk kepalanya.
“Gue… pikir-pikir dulu, deh.” Ada keraguan dalam suara Alvin. Dia menjelaskan kalau sebenarnya agak takut impiannya terkabul begitu cepat.
Dasar Aquarius, umpat Kara dalam hati.
***
Pengumuman boarding di bandara terdengar. Kara merogoh ponsel, menatap nominal di Dream Saver miliknya. Dia tahu bunga di tabungan itu masih akan terus bertumbuh kalau tidak dia sentuh, tapi… bagaimana dengan impiannya? Mungkin Kara egois, berpikir bisa meminjam impian orang yang dia cintai sebagai alat mencapai impiannya sendiri. Dengan traveling bareng Alvin, apa ada jaminan bahwa kisah mereka akan sama seperti Jenny dan Gilbert?
Kara pikir kalau dia berusaha hasilnya akan sama seperti yang diharapkan. Dia pikir apa yang dia tanam akan dia tuai. Namun, ternyata tidak selalu demikian. Ada banyak variabel yang tidak bisa dia kendalikan. Benih yang dia tanam belum tentu berbuah. Bisa saja tanahnya kurang subur karena terlalu sering menyiramnya, atau alasan-alasan lainnya.
“Ra, lo marah?” tanya Alvin polos.
Hati Kara mencelus. Bagaimana mungkin dia bisa marah pada Alvin yang kini menatapnya dengan puppy eyes?
Hhh… apa yang kamu lakukan ini benar-benar jahat, Vin, batin Kara.
Dia hanya bisa menghargai kejujuran Alvin yang akhirnya membuat pengakuan: sebetulnya Alvin bukannya tidak mau impian ke Brasil terkabul dengan cepat, melainkan karena cowok itu mendapat tawaran kerja di coffee shop legendaris di Bali. Hidup di Bali adalah impian yang lebih affordable bagi Alvin sekarang. Apalagi kesempatan itu ada di depan mata dan tidak mau menunggunya lebih lama lagi.
Kara tersenyum pahit, lalu menggeleng. “Buat apa gue marah sama lo? Kita toh masih bisa ke Brasil bareng kapan-kapan. As long as elo masih ngerayain ultah sih, ya.”
“Sialan, lo ngarep gue cepet-cepet mokat? Gak sopan!” Alvin mendengus, suaranya terdengar sedikit canggung.
Pengumuman keberangkatan pesawat yang bakal Alvin naiki terdengar. Kara tertegun sejenak. Sedikit lagi impian-nya akan berangkat mengejar impian-nya.
Apakah akhir bahagia itu ada? Kalau ada, berapa harganya?
Butuh momen seperti ini untuk menyadarkan Kara bahwa happy ending tak punya harga karena happy ending bukanlah barang, tempat, atau apa pun yang bisa diukur. Akhir bahagia adalah lukisan yang jauh lebih abstrak daripada karya Picasso.
Happy ending bagi Kara dan Alvin mungkin sama-sama São Paulo. Namun, São Paulo di mata Kara dan Alvin memiliki makna yang berbeda.
“Hati-hati di Bali, jangan tuker minuman lo dari kopi jadi bir, ya.” Kara menepuk pundak Alvin.
“Ya kalo pagi gue ngopi, kalo sore gue ngebir.” Alvin nyengir.
Kara mengulum senyum, menatap mata Alvin dengan perasaan tak rela. Waktu terasa berhenti sejenak, lalu kata-kata itu meluncur dari mulutnya, “Gue… bakal kangen sama lo.” Karena I love you bisa datang dalam bentuk apa saja, hanya itu kata-kata yang berani Kara ungkapkan, setidaknya untuk sekarang.
“Apaan sih? Lebai lo. Gue cuma kerja di Bali, bukan di Fiji,” jawab Alvin dengan senyum kering.
Kara melemparkan dirinya ke dalam pelukan Alvin, mendekapnya kuat dan erat sekali. Dia tidak ingin melepas Alvin, sama sekali tidak rela. Mati-matian Kara menahan sesak di hatinya, bahkan tangisnya pecah dan nyaris terisak. Namun, lagi-lagi Alvin berhasil menenangkannya dengan tepukan ringan di punggung berkali-kali. Tepukan pelipur lara. Lucu sekali membayangkan orang yang membuatmu patah hati dan menghiburmu adalah orang yang sama.
Kara mempererat pelukannya, menyeka air matanya di kerah baju Alvin. Kalau sampai kayak begini Alvin masih clueless, berarti fixed Alvin dungu! Kara melepas pelukannya, menatap Alvin yang kembali nyengir, berjalan menjauhinya sambil berkata, “Pulangnya hati-hati, ya.” Cowok itu melambai dan akhirnya menghilang dari pandangan Kara.
Kalau happy, kenapa harus ada ending?
Ah, Kara…
Kenapa juga dia berpikir kalau melepas kepergian orang yang dia cintai adalah bad ending? Dia dan Alvin hanya punya prioritas berbeda; ekspektasi yang berbeda. Itu saja. Hubungannya dengan Alvin masih akan tetap seperti ini. Baik-baik saja. Alvin hanya ingin hidup dengan penuh, melakukan hal-hal yang dia sukai. Demikian juga yang seharusnya Kara lakukan.
Jadi, Ra, apa yang mau lo lakuin agar lo bisa hidup dengan penuh?
Apa patah hati membuat Kara gila sampai-sampai dia bicara dengan dirinya sendiri?
Melakukan hal-hal yang juga gue suka. Di sela-sela itu… move on. Pelan-pelan saja. Move on and live a full live. Belajar punya kemampuan menikmati apa yang datang dalam hidup. Gak jadiin Alvin satu-satunya alasan buat bisa bahagia.
Malam itu Kara pulang dari bandara dengan hati porak poranda. Namun, di sela-sela retak hatinya, ada tujuan yang tumbuh. A Happy Beginning—nama Dream Saver yang baru saja dia ganti. Sayup-sayup terdengar lagu dari radio dalam taksi.
This won’t go back to normal, if it ever was
It’s been years of hoping, and I keep saying it because
‘Cause I have to
Ooh-ah, you’ll get better
Ooh-ah, soon you’ll get better
Ooh-ah, you’ll get better soon
— Soon You’ll Get Better, Taylor Swift
_______
Berapa Harga untuk Akhir Bahagia? merupakan cerpen pemenang
Kompetisi Menulis Fiksi Jenius Co.Create.
Mau cerpenmu di-publish? Yuk submit naskahmu di sini!
Comments ( 1 )