“Once a year, go some place you’ve never been before’” adalah salah satu quote favorit saya dari Dalai Lama, prinsip ini selalu saya terapkan minimal setahun sekali untuk menjelajahi tempat-tempat yang unik, dan bulan April kemarin saya memutuskan untuk trekking ke bagian dari puncak tertinggi di dunia, yaitu Langtang Valley di kawasan pegunungan Himalaya, Nepal.
Saya tau tempat ini dari film dokumentar Atftershock: Everest and the Nepal Earthquake di Netflix, tentang gempa dahsyat yang menimpa Nepal pada tahun 2015, dan Langtang Valley adalah salah satu titik terparah yang meyebabkan hampir semua bangunan desanya rata dengan batu es, serta menewaskan lebih dari 200 korban jiwa termasuk penduduk lokal dan pendaki luar. Saat situlah empati saya cukup terpukul melihat kondisi yang memprihatinkan karena mengingat mereka hidup dalam daerah yang ekstrim, seketika merasa terpanggil untuk berkontribusi lebih jauh.
Tanpa persiapan yang matang, saya menyusun itinerary perjalanan kemarin dalam dua minggu, termasuk tiket pesawat, trekking tour, akomodasi, dan perlengkapan trekking. Namun ada satu kendala yang bikin saya pusing keliling, yaitu mata uangnya alias Nepal Rupee! Dari hampir semua Money Changer di Jakarta, tidak ada satupun yang melayani penukaran kurs tersebut, alasannya simple karena mata uangnya jarang ada permintaan dan cuma tersedia di negara tujuan, jadi salah satu solusi ya tukar USD seadanya saja.
Tiga hari sebelum keberangkatan, iseng saya scroll Twitter untuk mengisi waktu luang, ketemulah satu tweet tentang fitur penukaran mata uang asing dari Jenius, tanpa panjang lebar langsung saya buka aplikasi Jenius dan ketemu fitur tersebut, ternyata sepraktis itu tukar IDR ke USD secara online yang bisa langsung terhubung ke kartu fisik, sungguh terbantu buat tipe orang seperti saya yang agak terburu-buru, dan tentunya worth it sekali nilai kursnya, bahkan tersedia banyak pilihan mata uang asing lainnya dari Hongkong Dollar hingga Pound Sterling. Dari kemarin kemana aja kenapa baru tau sekarang?!
Sebelum terbang ke Kathmandu, disarankan membeli tiket terpisah yaitu transit dulu ke Kuala Lumpur karena harga tiket pesawatnya jauh lebih affordable dibanding beli satu paket tiket sekaligus, cuma ya repot pindah terminal dan keluar masuk imigrasi saja, sisanya tinggal siapin e-Visa yang dapat diisi secara online, ataupun dengan Visa On Arrival yang cuma $25 untuk 14 hari.
Perjalanan yang ditunggu-tunggu pun dimulai, saya tiba di Kathmandu sekitar pukul 9 malam waktu setempat, kesan pertama cukup berbeda dengan ekspektasi, saat malam kotanya jauh lebih sepi dan gelap dari Jakarta, cuma beberapa area turis saja yang kerlap-kerlip, banyak debu dari konstruksi serta ada aroma rempah-rempah aneh di jalan, bahkan dalam kamar hostel yang saya pilih untuk semalam pun aromanya tetap menempel.
Keesokan pagi yang masih lelah, agent tour saya sudah menunggu di lokasi penjemputan untuk bertolak ke bus terminal yang akan berangkat ke Syapru Besi, base camp pertama dari trekking kali ini. Saya didampingi Bashu, mountain guide yang menemani saya untuk seminggu ke depan, untungnya beliau asyik diajak ngobrol mengingat rute pertama ini cukup jauh sekitar 120 km atau 10 jam menggunakan bus lokal.
Siapa sangka perjalanan ini cukup menguji adrenaline, jalan gunung yang kita lalui benar-benar nanjak, kecil, penuh belokan terjal dan kadar oksigen yang mulai berkurang dikarenakan sudah mendekati ketinggian 1.900 mdpl. Sesampainya di Syapru Besi, waktu sudah mulai sore dan suhu sekitar menurun drastis, kita bermalam di salah satu tea house, yaitu sebutan dari restoran lokal sekaligus penginapan buat pendaki atau tamu yang lagi singgah.
Desa kecil ini berbatasan 20 km dari Tibet, dijaga ketat oleh polisi militer, penduduk lokalnya tidak begitu banyak jadi suasananya amat tentram, tentu saja jauh lebih bersih udaranya dari ibukota. Sehabis makan malam saya kepikiran untuk ambil cash lebih buat jaga-jaga pas trekking, ternyata di situ cuma tersedia dua ATM tua yang tutup jam 8 malam, walaupun tidak terlalu meyakinkan tetapi Bashu membantu saya untuk translate beberapa tulisan Nepali di layar, ya tentunya karena tidak ada pilihan bahasa Inggris di ATM tersebut. Traveling kali ini benar-benar terbantu pakai Jenius, bayangin kartunya sampai pelosok desa di Nepal pun masih bisa narik tunai asalkan ada logo VISA.
Trekking ini sebenarnya cuma 5 hari tapi karena pulang pergi memakan waktu yang panjang jadi terhitung satu minggu. Kita baru mulai jalan keesokan paginya, untuk agendanya tiap hari ditargetkan trekking selama 7-8 jam atau sekitar 14km, yang dibarengi dengan makan siang dan quick break. Hari pertama cukup menguras tenaga, dimulai dengan medan berbatu yang bersebelahan dengan sungai berarus kencang, banyak sekali batu besar runcing hasil longsor yang bikin cemas salah injak, dilanjut jalan setapak samping jurang yang membentuk tanjakan 80 derajat ditambah tangan saya tak sengaja menyentuh rumput duri beracun saat lewat, luar biasa sakitnya dan sempat mati rasa selama 36 jam. Tidak dikasih ampun, trek yang kita lalui sehabis makan siang makin penuh tantangan, bayangkan ada satu jalur tangga tidak beraturan dari batu yang harus kita naik nonstop selama dua jam sambil fokus maksimal, kalau tidak akan berakibat fatal terpental ke bawah. Harus berterima kasih banyak kepada Bashu yang sangat gesit membantu dan menyemangati saya.
Badan sudah hampir retak, akhirnya sampai di Lama Hotel, base camp kedua kita untuk bermalam. Sudah diketinggian 2.515 mdpl, suhu makin menurun ke 12 derajat celcius, desanya cuma punya solar power, artinya setelah matahari tenggelam, semua listrik akan mati dan gelap gulita. Tea house kali ini lebih sederhana, namun sangat berkesan karena disambut hangat oleh kakak dan dua adik dari pemilik tempat ini, makanan yang disajikan pun sangat variatif dan lezat, mengingat semua daerah di Langtang cuma diperbolehkan vegetarian, karena 99% beragama Buddha. Dilanjut obrolan malam yang santai penuh tawa di depan api unggun cukup mendistraksi beban berat tadi.
Hari berikutnya bisa dibagi dalam tiga sesi, yang pertama cukup khawatir karena masih sama treknya dengan hari sebelumnya yang penuh tanjakan, sesi kedua kita melewati jalur hutan yang lebih rata dan suguhan pemandangan pegunungan yang ciamik jadi bisa sedikit bernapas lega, saat memasuki sesi ketiga terjadi badai salju kencang diluar dugaan dan kaki kanan saya cedera berat sehingga harus berteduh sebentar di gubuk terdekat. Tak bisa terlalu lama karena hampir gelap, kita bertekad untuk menyelesaikan perjalanan hari itu dalam badai, pikiran sudah kosong dan gemetaran tapi untungnya kita sampai dengan selamat di Langtang Village, base camp ketiga sekaligus inti trip kali ini.
Tidak terlalu ingat badainya berlangsung berapa lama, karena sehabis quick nap di tea house, suasana depan jendela kamar sudah dibalut salju tebal dan berembun. Malam itu saya mengalami altitude sickness lumayan parah karena sudah diketinggian 3.700 mdpl, serta suhu ekstrim yang mencapai minus 10 derajat celcius saat itu. Hujan salju tadi ternyata adalah salju pertama di tahun ini, cukup beruntung ya.
Desa ini sudah berubah banyak sejak gempa, sempat ketemu dan ngobrol dengan beberapa survivors, mereka cuma berharap makin banyak orang tau dan berkunjung ke tempat ini supaya roda perekenomiannya berputar, mengingat pekerjaan mayoritasnya mengurus tea house, mountain guide, porter dan beternak, apalagi kalau musim longsor akses trekking akan ditutup sementara sehingga tidak ada pemasukan, mereka pun rela memanggul barang bawaan sampai ratusan kilogram yang penting dibayar. Ada satu hal lain yang cukup memprihatinkan yaitu akses pendidikan anak-anak mereka, sekolah terdekat harus ditempuh minimal 3 jam dengan jalan kaki, tidak ada pilihan lain. Banyak yang putus sekolah karena faktor ekonomi sampai harus kerja di usia muda, disitulah uang tips berapa pun mereka akan sangat berterima kasih, apalagi dengan keramahan mereka yang jauh melebihi warga lokal di negara lain.
Hari yang ketiga, seharusnya kita akan terus jalan sampai peak tertinggi yaitu Kyanjin Ri (4.773 mdpl), tetapi paska salju sangat licin dan kondisi kaki saya tidak membaik jadinya cuma jalan sampai Kyanjin Gompa (3.870 mdpl) sekitar tiga jam dari Langtang Village lalu balik lagi ke tea house yang sama sehabis makan siang. Tidak jarang kita menyempatkan berhenti lumayan lama di beberapa spot untuk menikmati keindahan alam yang luar biasa indah, gunung-gunung tinggi berderatan membentuk siluet, sungai jernih yang hampir beku mengalir begitu deras, pohon berbalut salju yang mulai mencair, kuda putih dan Yak peliharaan yang mencari makan di sekeliling, sungguh tidak bisa berkata-kata lagi.
Perjalanan hampir selesai, dua hari berikutnya kita turun melewati jalur yang sama tapi kali ini lebih santai karena turunan yang tak sesulit saat nanjak. Selama trek, jarang sekali kita menemukan sampah, saya rasa mereka lebih sadar untuk menjaga lingkungan sekitar. Biarpun sempat berpapasan banyak dengan pendaki luar, tapi saya cukup bangga karena menjadi satu-satunya pendaki dari Indonesia saat itu, bahkan Bashu pun baru pertama kali bertemu dengan orang Indonesia selama karirnya. Liburan bareng Jenius kali ini membuka banyak insight menarik tentang kehidupan dari hal-hal kecil, proses yang tidak mengkhianati hasil, dan selalu membantu sebelum dibantu. Sekian!