Hi Co.Creators! Kembali lagi dengan artikel perjalananku ke Singapura bareng Jenius nih! Kalau dalam bagian pertama kayaknya kebanyakan bahas makanan atau kulineran, bagian ini lebih ke experience yang seru.
Perks 4: Incomparable experience
Well, speaking of travelling, gak afdal kalau gak bahas pengalaman! Kebetulan perjalanan bersama Jenius itu menyajikan itinerary yang gak biasa. Memang ada tempat-tempat yang sudah aku kunjungi sebelumnya kayak Merlion (sudah 3 kali ke sana) dan Art Science Museum.
Namun, sejujurnya aku belum pernah ke Gardens By The Bay, Museum of Singapore, bikin parfum di Ooh La La Lab, pergi ke Tiong Bahru, bahkan ke Intan Peranakan Museum. Ternyata Singapura tuh menawarkan banyak hal dan pengalaman lho, Co.Creators. Bukan cuma belanja doang.
Tujuan pertama adalah Cloud Forest Gardens by The Bay. Biasanya sih saat ke tempat ini aku cuma sekadar jalan-jalan, gak masuk ke Gardens by The Bay. Jadi ya cuma foto-foto di Tree Walk kemudian pergi ke tempat lain.
Nah, saat perjalanan bersama Jenius kemarin, I got all the time in the world to explore Gardens by The Bay ya karena semua sudah ditanggung Jenius! Tinggal bawa badan dan enjoy the sights.

Sumber: Dokumentasi pribadi
Gardens by The Bay adalah rumah kaca raksasa. Tempat ini merupakan taman di dalam ruangan yang sangat luas, hampir kayak Sky Garden-nya London versi lebih besar atau Temperate House-nya Kew Gardens versi lebih gede. Bahkan aku sempat bikin video cover SNSD “Forever One” sama Cath di dalam Gardens by The Bay ini. Aduh, kelakuanku memang kadang gak tau malu, hihi.
Setelah puas jalan-jalan di taman indoor, kami lanjut ke Cloud Forest yang katanya punya air terjun buatan manusia tertinggi di dunia alias 30 meter. Ternyata aku lebih enjoy di sini, mungkin karena tumbuhannya lebih hijau? Atau mungkin karena interiornya lebih cantik untuk difoto. Intinya, aku suka dan having so much pleasure inside. Sebelum akhirnya kami bertolak ke destinasi selanjutnya.

Sumber: Dokumentasi pribadi
Hari selanjutnya, kami pergi bikin parfum di Ooh La La Lab dan Museum of Singapore. Hari itu adalah hari yang paling aku tunggu-tunggu karena (1) aku suka banget sama museum dan (2) bakalan bikin parfum! Workshop experience ini adalah hal yang paling aku sukai. Sayangnya kalau jalan-jalan sendiri workshop kayak begini gak akan kulakukan karena keterbatasan dana.
Workshop bikin parfum ini left so much happiness in me. Aku pun akhirnya menyadari bikin parfum tuh bukan pekerjaan mudah. Gak heran harga parfum mahal, soalnya butuh skill, bakat, serta ketelatenan.
Baca juga: Pengalaman Jenius Liburan ke Singapura
Pertama, kami diminta untuk mengidentifikasi 27 aroma yang bakal jadi base notes, middle notes, dan top notes. Base notes adalah bau yang tercium di akhir, evaporasi aroma ini yang paling lama dan paling awet… jadi memang baru muncul di akhir.
Middle notes merupakan bau yang tercium setelah top notes berevaporasi. Terakhir, top notes adalah bau yang kita endus pertama kali dari parfum dan berevaporasi paling cepat. Karena bau-bau ini memang asalnya dari alkohol, hari itu aku agak pusing dan hampir kehilangan skill penciuman karena harus mengendus 27 bau.

Sumber: Dokumentasi pribadi
It’s worth noting dalam proses penciuman bau ini, kita diperbolehkan istirahat dan mencium bau kopi untuk menetralisir indra penciuman. Saat itu aku gak berhasil mengidentifikasi 27 bau karena banyak banget. Tapi berhasil mengira-ngira bau parfum seperti apa yang kuinginkan.
Intinya, parfum yang aku mau itu harus ada vanila karena selama ini aku punya kecenderungan untuk beli parfum berbau manis dan ada vanila. Aku juga suka bau parfum cowok, jadi sudah jelas aku memilih bau yang maskulin dan akan memasukkan unsur musk.
Selebihnya untuk menetralisir biar gak terlalu maskulin dan jadi penengah aku memasukkan unsur flower buat memperlembut aromanya. Aku juga suka wangi yang powdery, makanya aku suka banget sama Joe Malone Myrrh and Tonka, juga YSL Black Opium.
Ternyata proses meramu bau ini gak semudah yang kubayangkan. Setelah mengidentifikasi 27 bau, kita diharapkan untuk menyimulasikan notes apa saja yang mau diambil. Dengan berbagai preferensi yang kumiliki, ternyata aku gak menemukan aroma yang aku mau.
Baca juga: Dari 20.000 Rupiah Hingga ke Korea Selatan
Akhirnya ada banyak banget trial and error, lalu ujung-ujungnya aku menyerah dan mencampur saja semua baunya dalam sampel 1 mililiter. Di sampel ini kita teteskan satu per satu bau yang diinginkan lalu dikocok-kocok. Dari 2 botol sampel, aku masih tetap belum menemukan bau yang aku mau, makanya mukaku tegang dan tense banget kayak abis ujian. Aroma yang aku campur ternyata chaotic banget, hiks.
Meski chaotic, akhirnya aku tetap menggunakan formula tersebut untuk meramu parfum 20 mililiter. Merasa hasil campuranku gak sesuai yang aku mau, aku pun menamai parfum buatanku sebagai Chaotic Frantic saking gak jelas aromanya.
Begitu parfum selesai dibungkus dan bawa pulang ke Jakarta, berhari-hari setelahnya, ternyata not bad juga. Dan setelah beberapa hari itulah baru aku merasa bangga sudah bikin parfum yang sesuai personality-ku: chaotic! Haha.
Baca juga: Solusi Jenius Semua Transaksi Selama Liburan di Rusia
Pengalaman selanjutnya pergi ke Museum of Singapore. Sebagai penyuka sejarah, museum is my sanctuary. Yang bikin aku amazed saat berkunjung ke museum ini adalah fakta bahwa warga Singapura benar-benar mengimplementasikan “bangsa yang besar adalah bangsa yang gak melupakan sejarahnya”.
Storytelling museum di luar negeri memang mostly bagus. Bahkan negara sekecil Singapura, bisa mengemasnya dalam cerita yang baik. Andaikata para kurator museum atau lembaga yang bertanggung jawab sama museum di Indonesia punya storytelling sebagus ini… wah, pasti keren banget!
Menurutku, museum di Indonesia tuh pada dasarnya bagus, tapi gak punya daya tarik story telling, jadi ya ujung-ujungnya hanya sebagai ekshibisi tanpa value added setelah datang ke sana. Sementara itu, museum ini punya kekuatan storytelling yang kuat. Salah satu section yang bikin aku terenyak adalah section sejarah pendudukan Jepang di Singapura.
Indonesia dan Singapura sama-sama diduduki oleh Jepang pada tahun 1945—saat Perang Dunia II. Namun, esensi dampak perang dan kengeriannya justru lebih terasa berkat storytelling Museum of Singapore dibandingkan yang aku baca di buku IPS. I think that’s how a museum should be, a reminder that we don’t want to repeat the same terrible mistake.

Sumber: Dokumentasi pribadi
Yang terakhir dan yang cukup ngena juga di perjalanan bersama Jenius ini adalah kunjungan ke The Intan Peranakan Museum. The Intan Peranakan Museum ini merupakan museum terkecil di Singapura, didirikan oleh Alvin Yapp. What I would appreciate from this visit is: Alvin Yapp is such a great storyteller!
Sama seperti guide kami saat itu, Aida, she’s also a great storyteller. Banyak banget trivia kecil soal Singapura yang aku baru sadari dan apresiasi sepanjang perjalanan bersama Jenius. Things that won’t ever happen if I stroll around Singapore by myself with my budget experience, haha!
The Intan Peranakan Museum ini sebetulnya berasal dari keinginan Alvin Yapp untuk mengenali identitasnya sendiri sebagai peranakan. Peranakan ternyata bukan sekadar istilah karena berarti persilangan antara ras Tionghoa dengan Melayu.
Baca juga: Menabung Dolar di Jenius Buat Liburan ke Amerika Serikat
Berbeda dengan kultur di Indonesia, peranakan di luar Indonesia (tapi masih di lingkup Asia Tenggara) justru lebih di-embrace, khususnya di Singapura. Warga peranakan yang merupakan campuran Asia Timur dan Melayu ini berbangga diri sebagai hasil peranakan. Peranakan juga dapat berarti strata sosial yang lebih tinggi di Singapura berdasarkan sejarahnya. Karena ras Tionghoa yang menetap di Singapura kala itu dikenal sebagai saudagar yang sukses.
Berdasarkan cerita Alvin Yapp, aku jadi sadar bahwa memang untuk menghasilkan keturunan yang lebih baik, harusnya ada perkawinan silang. Seperti paham yang selama ini aku dapatkan dari sekolah di Inggris, the more diverse the more we advanced towards better future.
Intinya kita tuh gak boleh terlalu chauvinis atau menganggap ras/suku kita yang terbaik. Justru yang terbaik itu kalau kita keluar dari zona nyaman, stepping up from our bubble, ketemu lebih banyak orang dari berbagai latar belakang dan suku budaya. Karena dengan demikian kita bisa memperkaya warisan kita karena asimilasi budaya tersebut. Peranakan ini contohnya.

Sumber: Dokumentasi pribadi
Alvin Yapp menjelaskan ada influence dari Asia Timur dengan budaya Melayu dalam setiap karyanya, yaitu dalam bentuk furnitur, pakaian, makanan, dan lain sebagainya.
Sembari bercanda bahkan Alvin Yapp menjelaskan peranakan itu observe, copy, modify tapi make it advanced. Konsep museum The Intan Peranakan sendiri juga gak kayak Museum of Singapore. Jatuhnya seperti kita bertamu ke rumah orang.
You will feel like you are at home. The Intan terasa seperti rumah yang nyaman. And that was one of the best experiences in this traveling journey. So if you’re looking for stories and eye opening experiences, I would recommend you to go to The Intan Peranakan Museum!
Perks 5: Meeting wholesome people!
Another thing that made me feel beyond blessed is how the universe let me meet with a bunch of wholesome people in this journey!
Dalam perjalanan itu, memang gak cuma tempat atau makanannya yang berkesan. Dengan siapa kita menghabiskan waktu itu juga jadi salah satu faktor sebuah perjalanan jadi susah dilupakan.
Selain Kak Jess dengan pengetahuannya soal kuliner yang tiada tanding, ada Cath yang begitu ketemu terasa seperti teman lama—padahal common ground kami awalnya cuma karena sama-sama asal Malang. Eh di hari pertama ternyata kemudian obrolan dan frekuensi kami nyambung karena sama-sama suka K-pop dan sama-sama waibu freak.
Saat di Jewel, yang nemenin aku pergi ke Pokemon Center juga Cath. Pas ada waktu bebas cari Mr. Coconut malem-malem pun sama Cath. Ditambah lagi dia juga tipe orang yang doyan traveling.
Baca juga: Serba-serbi Italia Bareng Jenius
Ada suatu hari aku merasa dekat banget sama Cath karena kami ngobrolin hal-hal personal. Waktu itu ada free time dan kami memutuskan untuk jalan-jalan ke Clarke Quay. Awalnya cuma kepingin duduk di samping sungai sama minum sesuatu, eh ternyata waktu itu Singapura agak gerimis, jadi kami melipir ke kedai matcha di Clarke Quay. Entah gimana ceritanya, saking immersed-nya kami cerita, terutama Cath karena dia punya banyak cerita menarik, akhirnya dia nyeletuk bisa baca garis tangan.
I felt intrigued, so I decided to go with it. Hari itu aku merasa Cath benar-benar sakti karena bisa menceritakan apa yang dia lihat (garis tanganku) sesuai apa yang terjadi di hidupku. I swear, I’ve never really told her anything beforehand. Di situ aku merasa dilucuti. Jangan-jangan aku terlalu oversharing di medsos? Namun, saat itu kami belum mutualan di media sosial dan siapalah aku sampai si Cath harus stalking? Malam itu jadi turning point dalam hidupku. Aku yakin Tuhan menghadirkan orang yang tepat di dalam hidup kita di waktu yang tepat.
Ada pula Kak Jess yang superhumble—selain punyua pengetahuan soal kuliner yang tiada tanding. Banyak hal yang bisa aku pelajari darinya. Yang paling penting adalah kesederhanaannya. Kayak… wow… Kak Jess yang hidupnya superkeren aja humble, siapalah aku kalau mau sombong segala?
Kak Jess juga gak pelit berbagi informasi. Dia juga sama seperti Cath yang udah traveling ke banyak tempat, melihat dunia yang lebih luas. Dia bahkan kasih saran kalau misal aku memang ingin ke Jepang tahun depan, termasuk beberapa rekomendasi tempat makan dan pengalamannya pergi ke onsen yang untuk booking aja perlu reservasi via telepon. Semoga aku bisa segera ke Jepang!
Baca juga: Kesaktian Kartu Debit Jenius saat Dinas ke London
Terakhir ada Kak Mia, si fotografer. Aku kebetulan sekamar sama Kak Mia dan baru tau kami sama-sama suka sepak bola. Dari Kak Mia aku belajar banyak soal dasar-dasar fotografi. Baru dari Kak Mia aku menyadari bahwa menekuni hobi fotografi tuh not bad, yang mana bikin aku mau mencoba hobi kamera analog.
Menurut Kak Mia, foto-foto yang aku ambil gak jelek, tapi memang gak berteknik. Rasanya ada kali ya aku menghabiskan waktu 3 SKS bahas perkuliahan fotografi sama Kak Mia. Well, there are lots of things that I didn’t know before about photography. Meski teknik fotografiku belum sempurna kayak Kak Mia, aku mau mencoba menerapkan sebagian ilmu fotografinya. I felt beyond blessed to be informed for such knowledge.
Singkatnya, over all these things, last Singapore trip with Jenius was one of the best moments in this year. Aku merasa sangat bersyukur dapat kesempatan untuk menang trip jalan-jalan bareng Jenius.
Setiap perjalanan akan selalu ada kisah dan makna, termasuk perjalanan bareng Jenius. Sudah gratis, nyaman, dapat banyak kesan pula. This is why I felt so content with my life. At the end of the day, God loves me.
Sekali lagi, terima kasih, Jenius!
Comments ( 0 )