“Hari ini tanggal 24 Juni, seorang wanita tewas bunuh diri dari gedung tempatnya bekerja. Diduga, wanita tersebut stres karena pekerjaannya. Korban telah dievakuasi…”
Suara pembicara televisi terdengar. Samar-samar, telepon berdering berisik, seolah meminta segera diangkat. Aku berdecak malas melangkah ke luar kamar menuju ruang tengah, hendak mengangkat telepon.
“Halo?” sapaku saat menerima telepon.
Suara berat pria paruh baya terdengar. “Apakah benar ini nomor telepon rumah keluarga Ibu Lita? Kami ingin memberi kabar penting.”
Aku tersekat, terkejut karena orang asing di telepon membahas perihal ibuku. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi perasaanku mendadak merasa tidak enak. “Iya betul. Saya Shana, anaknya. Ada apa dengan ibu saya?”
Suara dari seberang terdiam sejenak, seolah ragu mengatakan sesuatu, tapi akhirnya melanjutkan, “Kami dari kantor polisi. Saya ingin memberitahukan perihal kasus bunuh diri yang dialami Ibu Lita.”
Pria paruh baya itu segera memberi banyak penjelasan, dilanjutkan pertanyaan-pertanyaan untukku mengenai kebenaran dan informasi tambahan untuk laporan. Aku sebagai anaknya dengan gemetar menjawab pertanyaan itu satu per satu: soal apa yang terjadi dengan Ibu, apakah Ibu stres dengan pekerjaannya, sampai polisi itu memintaku menyerahkan telepon ke Ayah.
Pada saat bersamaan, Ayah datang tergesa. Mungkin beliau sadar gelagat atau suaraku yang parau saat menyebut kata “ibu“ berulang-ulang di sela obrolan. Dengan cekatan Ayah mengambil telepon itu.
Aku membiarkan Ayah melanjutkannya sambil berusaha mengatur napas. Fakta bahwa Ibu sudah tiada baru memukul benakku. Mataku pun mulai berkaca-kaca. Aku terduduk jatuh ke lantai. Kugigit bibir bawahku. Perlahan air mata menggenang. Tangisku akhirnya rebas. Kututup mulutku, masih tak menyangka hal itu terjadi. Televisi melanjutkan berita kasus bunuh diri yang tadi kudengar sayup-sayup.
Ternyata itu… Ibu?
***
Seminggu sebelum meninggal, Ibu sempat bertengkar dengan Ayah perihal krisis biaya.
“Kamu tuh gak becus kerja! Kenapa selalu malas-malasan sampai dikeluarin dari perusahaan?” omel Ibu ke Ayah.
Aku mengintip dari sela pintu kamar. Ibu terlihat menggulirkan layar di ponselnya.
“Lihat nih! Di fitur Moneytory Jenius-ku, pengeluaran kita gak sepadan sama penghasilan. Lebih besar pasak daripada tiang! Sebentar lagi Shana juga bakal kuliah! Kamu mau anak kita gak lanjut pendidikan?”
Ayahku juga tampak marah, tidak sudi disalahkan. “Ngomong apa kamu? Kamu pikir kenapa aku kayak begini? Setiap aku punya uang, kamu selalu punya cara buat buang-buang itu entah buat apa! Jadi gak usah sok-sokan bahas uang kuliah Shana!”
Ibu terdiam sejenak, tapi akhirnya tetap berkeras. “Oke, kalau begitu aku yang kerja! Soal kamu, terserah. Aku bakal urus surat cerai.”
Setelah itu hanya ada deru napas orang tuaku. Suasana kian mencekam, panas bercampur tegang usai Ibu mengucapkan ultimatum itu.
Kemudian bunyi tamparan terdengar keras. Ayah menampar Ibu!
“Wanita gila! Sadar! Kamu pikir apa yang bakal terjadi kalau kita cerai? Kamu gak mikirin Shana?!”
Hatiku mencelus. Untuk pertama kalinya seumur hidup orang tuaku bertengkar sehebat itu. Aku hanya bisa memeluk diri sendiri di balik pintu kamar, beringsut mengontrol diri untuk tetap baik-baik saja.
Ya, itulah kejadian terakhir yang sempat terekam di benakku. Aku tidak menceritakan pertengkaran itu ke polisi karena menurutku itu hal privasi. Di sisi lain aku tidak siap bercerita karena setiap aku berusaha mengutarakan hatiku bergemuruh dan rasanya jadi kepingin menangis.
Hari-hariku bertambah kelam tiap harinya.
Ayah pun jadi manusia yang jarang bicara. Sering kudengar Ayah terisak-isak di kamarnya, lalu pura-pura baik-baik saja di depanku padahal matanya bengkak dan wajahnya memerah.
“Ayah baik-baik aja?” tanyaku pagi ini sambil mengambil nasi goreng buatannya.
Ayah hanya duduk terdiam menikmati nasi goreng sambil sesekali tersenyum, tapi tidak bersuara satu patah kata pun.
Aku mendesah lelah, lalu mengunyah sarapanku. Tiba-tiba sesuatu tebersit di benakku: sebuah pertanyaan yang mengganjal.
“Ayah,” panggilku.
Ayah menoleh.
“Ayah tahu kan Ibu gak bunuh diri?”
Ayah tampak bingung.
“Ayah kan tau sendiri Ibu tuh orangnya keras. Ibu tipe pekerja keras dan gak mungkin nyerah. Gak mungkin Ibu bunuh diri. Lagi pula, Ibu masih kepingin biayain Shana kuliah. Dia gak bakal tega ninggalin itu. Setau Shana, orang yang bunuh diri tuh orang yang gak punya punya alasan buat hidup. Tapi Ibu punya kan, Yah?”
Ayah terdiam. Mukanya tambah sayu. Sebenarnya aku paham Ayah sangat terpukul, atau bahkan menyesali pertengkarannya dengan Ibu beberapa waktu lalu.
Ayah tampak berpikir. Kemudian wajahnya yang tadi tampak suram berubah datar. “Kamu tau, Shana? Kita gak pernah tau isi hati manusia. Di balik sifat manusia yang tampak kuat, belum tentu hatinya kuat. Tiap orang punya sisi yang gak pernah dia ceritakan. Kita gak pernah tau yang sebenarnya. Shana paham?”
Ayah berbicara cukup panjang, tidak seperti sebelumnya yang irit bicara. Aku merasa lega mendengarnya. Namun, aku tidak merasa lega akan maksud Ayah yang seolah menyerah membiarkan Ibu pergi, seolah hal itu tidak perlu dibahas lagi. Atau Ayah memang jadi sangat menderita karena mengingat sosok Ibu? Maka, beliau memutus pembahasan dengan berkata seperti tadi?
“Ya, Shana paham, Ayah. Shana berangkat sekolah dulu,” kataku, tidak tau harus berkata apa lagi.
***
Semuanya berjalan cepat. Aku berusaha fokus sekolah karena kini aku kelas tiga, yang artinya sebentar lagi mesti berjuang masuk perguruan tinggi. Ditambah lagi, sejak Ibu meninggal, Ayah jadi lebih suka bekerja. Kurasa Ayah mulai sadar untuk mementingkan masa depanku karena dia tau, aku cuma punya dia.
Teman dekatku, Dinka, sering menyemangatiku ketika teman-temanku yang lain berbisik-bisik membicarakanku. Sejak Ibu meninggal, beberapa orang memandangku iba, sedangkan yang lain menatapku aneh, mungkin sibuk berasumsi dengan pikiran mereka sendiri.
“Kamu pasti bisa ngelawatin ini.” Dinka meraih kedua tanganku lalu menangkupkan kedua tangannya. “Kamu bisa cerita apa pun tentang perasaanmu kalau kamu butuh.”
Aku tersenyum canggung, menghargai ketulusan Dinka. Kuembuskan napas pelan, lantas menggigit dasar mulutku resah, gelisah mengingat kematian ibuku–lagi dan lagi. Meskipun beliau bukan sosok ibu sempurna, hanya sekadar menanyakan sekolahku, kecukupan persediaan makan, menyuruhku membersihkan dan melakukan pekerjaan rumah, tetap saja beliau sangat kusayangi.
Aku meremas tangan Dinka.
“Aku masih gak percaya ibuku bunuh diri,” gumamku lirih. Tanpa bisa dicegah mataku mulai berkaca-kaca. “Rasanya aku masih gak terima ngeliat Ibu tidur selamanya, pergi ke pelukan Tuhan. Kenapa aku selalu ingat permakaman Ibu? Kenapa rasa sedih ini bikin aku ngerasa sesak? Apalagi kalau ingat saat ayahku berulang kali mengusap matanya yang basah. Padahal Ayah orang yang jarang nangis…”
Dinka mengangguk.
Ruang kelas masih ricuh, beberapa murid sibuk sendiri dengan aktivitas mereka. Jam kosong begini memberi kesempatan buatku bercerita dengan suara pelan agar tidak terdengar.
“Kamu sadar gak teman-teman sekelas ngobrolin apa akhir-akhir ini?” respons Dinka, yang menurutku tidak nyambung dengan ceritaku.
“Apa, Din?” tanyaku bingung.
“Kabar yang bilang ibu kamu ngobrol lama sama teman laki-lakinya sebelum bunuh diri.”
Aku terdiam. Ya, aku tahu. Namun, aku tidak merasa ada yang aneh dengan hal itu.
“Kamu tau dia siapa, Shan?”
Aku mengernyit. “Mana aku tau? Memangnya menurutmu dia siapa?”
Dinka tampak berpikir keras, tapi kemudian berdecak. “Ah, udahlah, aku juga gak bisa duga secara pasti. Gak baik juga berasumsi buruk tentang seseorang.”
Percakapan kami pun terhenti. Namun, hal itu justru menanggalkan tanda tanya besar di benakku. Aku jadi ikut penasaran, padahal sebelumnya tidak mempermasalahkan hal itu.
Apa aku perlu tanya sama Ayah?
Pulang sekolah, aku hendak naik bus seperti biasa. Namun, dering telepon menginterupsi kegiatanku. Telepon dari Ayah.
Tidak seperti biasa.
Kuangkat panggilan itu. Percakapan singkat pun berlangsung. Ayah bilang sedang menungguku di depan gerbang untuk menjemputku. Aku yang sudah berada di halte yang agak jauh dari gerbang sekolah pun berniat menghampiri Ayah ke depan gerbang sekolah lagi. Namun, tiba-tiba tapi pikiranku terlintas suatu ide. Maka pada ujung akhir percakapan itu, aku menutupnya dengan: “Tunggu ya, Yah. Aku mungkin agak lama. Ada yang mau aku lakuin.”
Aku memasukkan kembali ponselku ke tas. Kemudian aku menuju toserba dekat sekolah. Aku membeli satu buku bersampul hitam beserta bolpoin berwarna sama yang menggantung sepaket dengan itu. Setelah membayar, ada buku nonfiksi yang terpajang di etalase dekat area kasir yang mencuri perhatianku berjudul Cara Berpikir Positif. Aku pun turut membelinya juga.
Kulirik jam tangan. Sudah lima menit aku berada di sini. Aku pun keluar dari toko itu dan berjalan ke gerbang sekolah. Sekolah masih cukup ramai. Pandanganku menangkap mobil abu-abu, lantas kudekati.
Aku membuka pintu dan masuk ke jok belakang karena ternyata di jok depan sisi Ayah, ada Tante Tia, adik beliau.
Aku jadi bingung.
“Yah, kok tumben jemput aku?“ tanyaku, soalnya jarak rumah dan sekolah tidak terlalu jauh. “Oh, iya. Tumben ada Tante Tia. Ada apa? Kita mau jalan-jalan, ya? Atau main ke rumahnya?”
Pertanyaanku yang bertubi-tubi membuat dua orang di depanku terdiam. Suasana terlihat mencekam, tapi aku tidak paham apa yang sebenarnya terjadi.
“Kita bakal pergi ke suatu tempat. Kamu jangan banyak tanya dulu, ya,” kata Tante Tia lembut, yang seketika membungkamku untuk bertanya lagi.
Akhirnya aku memilih untuk mengeluarkan buku kosong dan bolpoin, kemudian menyerahkannya ke Ayah. Mobil belum berjalan, jadi kurasa ada cukup waktu untuk berbicara dengannya.
“Ini buku kosong sama bolpoin, buat Ayah cerita ke buku ini. Aku gak tau perasaan asli Ayah setelah Ibu meninggal. Tapi aku tau Ayah sedih, bahkan mungkin lebih sedih dibandingkan aku. Ayah pasti nyembunyiin banyak hal dari aku, termasuk perasaan Ayah. Seperti kata Ayah tadi pagi, beberapa orang punya sisi yang gak diceritain. Ayah gak pernah ceritain sisi sedih Ayah, jadi mungkin buku itu bisa ngewakilin aku buat Ayah cerita.”
Ayah menengok ke belakang, ke arahku, yang membuatku terpaku. Aku bisa menangkap ekspresi sedih Ayah. “Makasih, Shana.”
Setelah itu, mobil pun melaju.
Kulihat langit biru dan awan-awan putih dari jendela mobil, serta mentari nan cerah yang menyilaukan pandanganku. Di mobil suasana tetap hening, jadi aku sibuk menatap ke luar jendela. Sampai akhirnya mobil yang kunaiki berhenti di suatu tempat.
“Kita turun yuk, Shana.” Tante Tia berjalan lebih dulu. Ayah menggerakkan kepala ke arah sebuah gedung, memberi kode agar aku berjalan ke sana.
Ayah dan Tante Tia tidak berkata apa pun soal di mana kami sekarang dan hendak melakukan apa. Namun, setelah pelan-pelan mendekati gedung itu, aku paham kami berada di mana, tapi aku masih tidak mengerti untuk apa kami di sini.
Mereka mengajakku ke kantor polisi.
Kami pun masuk ke halaman ruang depan kantor polisi. Di sana tampak penjaga, ruang kedatangan yang dilalu-lalangi beberapa petugas administrasi.
“Shana, boleh Ayah cerita lebih luas perihal sisi manusia?” Ayah mendekat, memegang kedua lenganku.
Fokusku teralih ke Ayah kembali. Kami bertiga—aku, Ayah, dan Tante Tia—sama-sama berdiri. Ayah dan Tante Tia kini menatapku lekat-lekat.
Aku mengangguk menanggapi pertanyaan Ayah.
“Sisi yang Ayah sebut bukan cuma perihal sisi emosi—bukan cuma sisi senang ataupun sedih. Tapi juga sisi baik dan buruk,” jelas Ayah.
“Lantas?” tanyaku bingung.
“Ada yang kamu harus tau sekarang,” ujarnya, lalu diam sebentar. Dia menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Kamu tau kan setelah Ayah malas-malasan kerja demi menguji Ibu, Ibu cari kerja sendiri buat memenuhi kebutuhannya sendiri?”
Aku terperenyak. Bahasan tentang Ibu masih sensitif di telingaku. Pikiranku langsung tersadar, menanti apa yang hendak Ayah katakan.
“Maaf baru cerita sekarang. Tapi Ibu kerja dengan menjual diri. Kalau kamu pernah dengar, ada teman laki-lakinya yang ngobrol terakhir kali sama dia yang sempat terekam CCTV. Itu selingkuhannya. Pria itu dan Ibu lagi ngerencanain hal buruk.”
Ayah terdiam sejenak.
“Maksud Ayah tadi soal sisi manusia adalah sisi mereka yang gak terduga. Manusia bisa jadi apa aja, jadi jahat atau baik. Mereka bebas buat memilih salah satu atau bahkan kedua-duanya. Kadang kita buta menilai keduanya karena manusia bisa jadi baik dan jahat di saat bersamaan.”
Jual diri?
Rencana buruk?
Aku membeku, tidak siap dengan fakta yang barusan Ayah bilang. Aku hanya bisa diam, membiarkan Ayah mengeluarkan semua kata-katanya sendiri.
“Ibumu benar-benar gila, Shana. Dia gila materi. Kamu benar kalau bilang Ibu memang gak bakal ninggalin dunia ini begitu aja dengan bunuh diri. Ibumu cuma kepingin senang-senang. Ibu sebetulnya juga sudah bekerja seperti itu bahkan sebelum Ayah berhenti kerja.“ Ayah menatapku lekat-lekat. Matanya yang tegas kini tergenang air mata, menatapku penuh rasa bersalah yang tidak kumengerti.
“Udah, Yah… gak usah lanjutin ceritanya kalau itu bikin Ayah sedih,” ujarku.
Sebenarnya aku penasaran dengan semua fakta di balik semua ini. Namun, makin aku tahu, aku pun bakal makin terluka karena melihat Ayah yang pasti makin kelihatan tersiksa. Melihatnya secara gamblang bersedih di depanku yang sebelumnya dia sembunyikan.
“Pulang aja yuk, Yah. Ayah kalau mau cerita di rumah aja. Ngapain di kantor polisi begini?”
Ayah tidak merespons. Sementara itu, Tante Tia hanya memandang kami berdua. Tanpa alasan, Ayah bersimpuh di hadapanku. Tangis Ayah makin terdengar jelas dengan isakan, raungannya menggema. Aku bahkan bisa merasakan tatapan tiap orang yang ada di ruangan kantor polisi ini menatap ke arah kami.
“Shana…” panggil Ayah.
Dadaku terasa sesak. Aku berjongkok untuk sejajar dengan Ayah. Kuusap bahu kekarnya dengan lembut, meski aku tidak tahu sepenuhnya apa yang sebenarnya terjadi dan alasan Ayah bersedih.
“Ibu ngajuin cerai, tapi Ayah nolak. Dia ingin hidup dengan selingkuhannya, hidup bebas tanpa Ayah. Ayah tau sifatnya memang begitu, tapi Ayah gak nyangka dia punya niat begitu dan berjalan sejauh itu. Entah apa yang tiba-tiba merasuki ibumu. Ibumu memang marah karena Ayah berhenti ngasih pemasukan. Tapi asal Shana tau, marahnya dia aslinya ya karena dia harus terjebak sama Ayah untuk lebih lama lagi.” Ayah bicara terpatah-patah. Hampir saja aku tak mendengar jelas keseluruhan cerita karena suaranya yang bergetar.
Aku terkesiap, berusaha mencerna apa yang Ayah katakan.
“Ibu ngancam mau bunuh kamu, Shana. Awalnya Ayah pikir itu gak mungkin, tapi suatu hari Ayah sadar dia serius bakal ngelakuin itu. Karena ada orang yang hendak masuk ke kamar Shana diam-diam malam hari; dia bisa masuk ke rumah karena kunci cadangan punya Ibu. Ibu bener-bener punya pembunuh bayaran untuk ngebunuh anaknya sendiri. Ayah sedih, Shana. Ayah sedih. Ayah gak mungkin ngebiarin hal itu terjadi.”
Keterkejutanku akan cerita Ayah sebelumnya tidak sebesar keterkejutanku sekarang. Mataku berkaca-kaca, air mata pun luruh. Semua ucapan Ayah terdengar tidak masuk akal. Namun, aku tahu Ayah tidak pernah bohong. Napasku tersengal, bibirku bergetar tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya mendekat, memeluk Ayah yang masih bersimpuh.
“Ibu memang gila, Shana. Tapi Ayah lebih gila.”
Aku melepas rangkulan Ayah, memandangi wajahnya yang kini menatapku nanar.
“Maafin Ayah, Shana. Maafin Ayah.”
“Maaf kenapa?”
“Karena Ayah gak bisa nemenin Shana lagi di rumah. Mulai sekarang, Shana tinggal sama Tante Tia, ya. Habis dari kantor polisi ini, Tante Tia yang bakal ngendarain mobil.”
Aku mengerjapkan mata. “Kenapa?”
Ayah tak menjawab pertanyaanku secara langsung. Beliau justru meminta maaf lagi. Kata maaf yang tidak bisa kuterka. Maaf yang kali ini membuat duniaku terasa berhenti.
“Maaf karena Ayah bunuh Ibu di gedung tempatnya bekerja, di bagian sepi dan gak ada CCTV-nya. Ayah kabur dengan cepat setelah dorong Ibu dari ketinggian. Ayah sedih Ibu meninggal, tapi Ayah lebih sedih karena Ayah sendiri yang melakukannya. Demi Shana. Harusnya lebih baik Ayah setuju akan gugatan cerai ibumu dari awal. Tapi situasi telanjur rumit.”
Plastik berisi buku Cara Berpikir Positif yang kupegang di sisi tubuh terjatuh.
Hatiku mencelus.
Aku merasa sakit hati, bingung, sekaligus hancur…
[Selesai]
Rahasia di Balik Kematian adalah cerita pendek yang ditulis oleh Co.Creator.
Mau naskah cerpenmu juga di-publish di website Jenius Co.Create?
Yuk submit naskahmu di sini!
Mau baca cerita fiksi lainnya? Klik di sini.
Comments ( 0 )