Kasya sebagai pebisnis terbiasa berpikir rasional. Ia mendengarkan penjelasan Ranin atas video skandalnya dengan Jehan. Meski dalam hatinya, ada rasa kecewa dan “cemburu”. Kasya perlahan mundur dan memupus benih cintanya dengan Ranin. Ia menghindar. Ranin terus mengejar. Kasya memutuskan menerima Edgar demi papanya. Namun, karena saya tim happy ending, hihi… Ternyata Edgar dan Jehan punya “hubungan” tidak enak di masa lalu. Konflik itu akhirnya membuat papa Kasya sadar jika Edgar bukan lelaki baik-baik untuk putrinya. Kasya dan Ranin bertatapan. Akhir bahagia di depan mereka 😀
Belum baca bagian kedua dari Detik Tanpa Jeda?
Langsung klik di sini, ya!
_____
KASYA membuang kotak makan malam berlabel Little Market Deli ke tempat sampah samping meja kerja. Dia baru menyadari kali ini dia makan tepat waktu. Itu berarti dia tidak butuh obat mag yang belakangan jadi langganannya.
Pandangannya menjelajah ke sekeliling ruangan kantor. Sungguh rasa senyap yang familier. Bunyi detak jam dinding pun terdengar jelas, membuatnya seketika teringat suasana serupa yang akhirnya berubah jadi ajang adu teriak…
“Kalau gak nyaman sama Edgar, kamu gak perlu jalani demi nyenengin hati Papa, Mimi.”
“Aku malas berdebat sama Papa, Ma!”
“Lebih baik berdebat daripada akhirnya menyesal kemudian.”
“Maksudnya kayak Mama?”
“Jaga bicaramu, Mimi.”
Sembari menutup mata, ditutup juga sekelumit adegan yang tiba-tiba mencuat ke benaknya. Dia merasa tidak kuat untuk mengingat lebih lanjut. Kenapa kenangan itu yang muncul? batinnya getir.
Kasya bangkit dari kursi, mengintip pembaruan stok produk new arrival via Bisniskit di ponsel untuk terakhir kalinya sebelum bergegas meninggalkan ruangan.
“Hari ini gak lembur, kan?”
Yakin tak ada siapa pun di ruangan karena sebagian pegawai sedang ke pabrik di Tangerang dan sisanya sudah pulang, kontan Kasya terkejut. “Lain kali bisa ketuk dulu, kan?”
“Serius banget sih, Kas.” Seorang lelaki necis berambut ikal dengan kemeja kuning pucat dan sepatu kulit derby menyandarkan sisi tubuhnya ke dinding, tak terganggu dengan suara tegas dari Kasya. “Jadi apa nih jawabannya? Kamu kangen aku atau gak?”
Kasya tetap membisu, teringat pertanyaan sama yang terlontar di Snow & Scoop yang tak juga dia jawab.
Edgar mendesah dan menyodorkan sehelai kain wol nuansa lilac. “Sweter kamu rupanya ada di mobilku…”
“Trims.” Kasya menerima tanpa sedikit pun menatap si pemberi.
“Aku sih berharap sweter kamu gak ketinggalan di mobil—” meski perempuan itu sudah mengambil pakaiannya, Edgar tetap menahan jemarinya, “—melainkan di kamarku. Kamu dan aku, Kas…”
Kasya menggeleng berulang kali, tampak gerah dengan apa pun yang tercetus dari mulut lelaki yang kini malah membuntutinya ke bagian front office.
Dan tiba-tiba Kasya mendadak berhenti melangkah karena melihat siluet bak patung.
Di area depan yang gelap itu, Kasya terkejut mendapati Ranin berdiri di balik pintu kaca. Dengan agak tergesa, ditariknya kenop pintu.
“Sori, aku gak ngabarin kamu dulu kalau mau mampir,” ujar Ranin sopan.
Senyum tulus lelaki itu dengan sekejap mengusir rasa penat Kasya. “Gak apa-apa kok, Ranin.”
Ranin berdeham. “Hari ini sebenarnya…” Kejutan. “Yah, aku pas lagi bisa pulang cepat.”
“Siapa di luar, Kas?” Terdengar sahutan dari belakang Kasya.
Kedua laki-laki yang kini saling berhadapan tampak saling memandang keheranan.
“Ranin, Edgar. Edgar, Ranin,” Kasya memperkenalkan mereka alakadarnya. Sungguh dia tidak siap dengan impitan keadaan seperti ini.
Melihat Ranin yang masih termangu seperti orang linglung, Edgar pun maju selangkah. Tangannya menyentuh pinggang Kasya, memastikan gestur dominan sekaligus posesif itu tertangkap mata pria di depannya. “Yuk, kita pulang, Kasya.”
Perasaan Kasya sungguh tak keruan. Sekilas, dia bahkan merasa salah lihat. Di hadapannya, tatapan Ranin begitu mematikan seolah siap melompat ke arah Edgar untuk adu jotos. Hampir saja dia berlari ke arah si mantan adik kelas untuk mencegah hal tersebut terjadi.
Namun, tangan Ranin yang tadinya terkepal di sisi tubuh, kini terjulur longgar. Terlibat perkelahian tanpa mengetahui duduk persoalan adalah hal terakhir yang akan dia lakukan saat itu.
Ranin… maaf! Kasya memejamkan mata sebentar, mengutuki nyali yang terbang begitu saja ketika keputusan Edgar membuatnya tak berkutik.
Melihat tidak ada respons meluncur dari mulut Kasya, untuk Edgar maupun dirinya, Ranin menatap ke samping sebelum akhirnya memilih pergi. “Kita bisa atur di lain waktu,” tuturnya berat, terselip kekecewaan.
“R-Ranin—!” Kasya menyesal tak mampu bertindak cepat dan malah membiarkan Ranin berlalu tanpa sedikit pun penjelasan berarti.
“Dia udah pergi. Ayo, kita pergi juga,” Edgar berujar cuek, tidak tertarik menanyakan siapa gerangan lelaki yang bahkan tidak dipersilakan masuk itu. Paling cuma orang vendor, terkanya dalam hati.
“Aku bisa pulang sendiri,” tepis Kasya. Dia kaget sendiri dengan suaranya yang terdengar ketus. Sejak kapan dia menyesal melihat punggung Ranin berjalan menjauhinya seperti ini?
Edgar tampak mencari-cari sesuatu di area parkiran. “Di luar gak ada mobil Om Argya, Kas. Memang kamu bawa mobil?”
Kasya menggeleng. Kalau ada satu orang yang diperbolehkan mengantarnya ke rumah oleh Om Argya alias Papa, sosok tersebut tak lain adalah Edgar Rumawas. Itulah alasan dia kerap meminta Ranin menurunkan di kantor saja—bukannya ke rumah—tanpa memberikan alasan apa pun. Kasya hanya ingin menghindari konflik dengan Papa yang menurutnya terlalu berlebihan memercayai Edgar hanya karena tahun lalu mereka pernah bersama. Tentu saja ada alasan lain yang lebih penting seperti ayah Edgar adalah rekan bisnis penting di mata beliau.
“Sopir gak bisa jemput?” tanya Edgar lagi.
Kasya yang tak juga memberi jawaban, membuat lelaki dengan jenggot chin strap trendi ini berdecak gemas. ”Yang kamu cari ada di aku, Kas. Karena cuma aku yang paham kayak apa kehidupan yang kamu inginkan. Om Argya aja sadar akan hal itu, masa kamu gak?”
“Kamu terlalu percaya diri, Edgar,” Kasya menanggapi tenang.
“Bukan kamu doang yang bilang.” Edgar menebar pandangan ke sekeliling. Sebagian ruangan di kantor Rumi kini sudah gelap. “Bisnismu lumayan berkembang. Tapi seharusnya bisa lebih melesat dari ini.”
Mata Kasya menyipit; apakah Edgar baru saja menyiratkan dirinya kurang cerdas bekerja? Sebelum berhasil menuntut klarifikasi atas pernyataan itu, laki-laki itu sudah berlalu.
“Aku tunggu kamu di mobil, Kas,” Edgar menyahut tanpa menengok ke belakang.
Perlahan, Kasya menurunkan pandangan ke wrap dress nuansa biru laut yang dia kenakan dengan penuh harap—warna yang dia ketahui merupakan kesukaan seseorang.
Sayangnya, bukan ini akhir yang Kasya bayangkan di benaknya.
Bukan dengan orang ini.
* * *
Ranin baru mematikan proyektor InFocus dan bersiap keluar dari ruang rapat—satu-satunya tempat tertutup di shared coworking space tersebut—tatkala Jehan mencegatnya tepat di depan pintu. Tubuhnya seketika tegang, seolah tahu ke mana pertemuan ini mengarah.
Ranin berdeham kalem. “Permisi, Jehan.”
“Kita harus bicara.”
“Gak ada lagi yang perlu dibicarakan.”
“Tapi, waktu di LEÓN, kamu sangat menikmati ciuman kita—”
“Aku mabuk, kamu juga. Aku sudah minta maaf dan menjelaskan bahwa gak ada apa-apa di antara kita.” Ranin menutup pintu agak keras, memastikan pembicaraan ini hanya di antara mereka berdua, kemudian menatap lurus ke mata Jehan.
“Aku bisa melakukan lebih dari sekadar menyebarkan video kita lho.”
“Kamu mengancamku?”
Jehan tersenyum penuh arti. “Tentunya aku pilihan yang lebih bijak daripada bermain-main dengan teman kecil sekaligus kakak kelas yang sudah jadi milik orang lain. Lagi pula, memangnya kamu gak capek ngadepin orang depresi?”
Ranin tahu siapa sosok yang Jehan maksud. “Lebih capek menghadapi orang narsistik dan manipulatif.”
“Damn you! Video itu bisa jadi sumber masalah yang lebih besar buatmu, Nin!” Jehan masih berkeras melancarkan ancamannya.
“Kalau kamu masih nekat, bukan aku aja yang bakal dipecat dari Unity. Pikirkan itu baik-baik sebelum statusmu berubah jadi pengangguran.” Ranin melewati figur Jehan sebelum makian berikutnya dimuntahkan. ”Permisi. Aku banyak kerjaan.”
Kejadian ini dan pengalaman kemarin malam di depan kantor Rumi seolah berlomba menjadikan hati Ranin kian meradang.
* * *
Hari bergulir amat cepat dan akhir pekan tampak di depan mata. Meski suasana sekitar cukup gaduh—tim desain berdebat soal warna Pantone yang bakal jadi tren di musim mendatang dan cocok untuk kulit sepatu, hati Kasya sesunyi mesin pembuat kopi otomatis yang tengah menyeduh caffè latte di pojokan ruang meeting.
Dua pekan berlalu sejak kedatangan Ranin di kantor, tepat ketika mantan kekasih Kasya, Edgar, juga berkunjung. Kesibukan di kantor kecil Rumi dengan cepat melingkupinya, membuat Kasya tak sempat memikirkan apa pun selain pekerjaan. Seperti dulu… seperti hari-hari sebelum pertemuan bermakna di Portrait malam itu.
Jumat siang ini rupanya jadi perkecualian. Tepat ketika azan salat Jumat berkumandang, suasana riuh di kantor berangsur jadi senyap. Orang-orang meninggalkan meja seraya melempar pamit ke pemilik bisnis yang masih termangu, hanyut dalam dunianya sendiri.
Kasya tetap di kantor, sedang tak ingin beranjak mencari makan siang di luar. Hawa akhir pekan—long weekend, bahkan—sudah terasa sejak pagi dan dia malas membaur di tiap sudut restoran yang saat ini pastinya ramai.
Dipandanginya vas berisi anggrek ungu yang airnya belum juga dia ganti sejak kemarin dan kini salah satu kelopaknya terlihat layu. Cepat-cepat dia bangkit, kemudian membawa vas bening berbentuk silinder itu ke pantry.
Meski Mama sudah tiada, bunga kesukaannya selalu bertengger di meja kerja Kasya. Dengan begitu, Kasya selalu merasa dekat dengan sang ibu yang dulu tak pernah absen mengganti rangkaian bunga segar di meja makan dan foyer kediamannya.
Mama adalah pelita kehidupan bagi dirinya dan Nanda si adik lelaki. Mungkin karena sejak mereka kecil—sejak Mama dan Papa bercerai, ia dan Nanda ikut bersama Mama yang penuh perhatian, sedangkan Papa selalu mengganti kehadirannya dengan uang.
Hidup bertiga dengan Mama dan Nanda lebih baik daripada berempat saat orang tuanya kerap cekcok. Tatkala itu terjadi, Kasya langsung meraih Mimi—boneka teddy bear yang diberi nama sama dengan panggilan kesayangan Mama untuknya—dan bersembunyi di balik rak mainan.
Sayangnya, kehidupan nyaman itu berakhir lebih cepat dari bayangannya. Sepeninggalan Mama, Kasya dan adiknya pindah ke rumah Papa karena beliau dianggap lebih berdaya mengasuh kedua anaknya ketimbang sang kakek. Di istana barunya, Kasya merasa lebih kesepian, sedangkan Nanda makin tenggelam dalam agenda sosial yang bikin popularitasnya naik kelas meski talentanya malah jalan di tempat. Tak hanya asyik nongkrong di bengkel dan nightclub, Nanda mulai mencicipi island-hopping sampai ke Raja Ampat meski tidak dapat cuti dari kantor.
Setelah waktu istirahat usai, Kasya ngebut menyelesaikan sisa pekerjaan demi bisa menghadiri acara housewarming teman masa kuliah malam ini. Sebagian pegawai masih ada di situ meski jarum jam telah melewati pukul tujuh. Mereka sudah terbiasa dan tidak terganggu melihat polah nona bos yang gesit—meninggalkan laptop untuk bergabung dalam rapat tim keuangan di kamar sebelah, lalu mampir melihat dummy final koleksi musim semi mendatang—serta tidak banyak cakap itu. Sebagian kecil yang sudah bergabung sejak Rumi berdiri empat belas bulan lalu pernah menyaksikan watak ceria Kasya dan bagaimana semua itu sirna tatkala ibunya meninggal; sebagian lain menganggap gestur dingin itu merupakan pembawaan Kasya apa adanya.
Jadwal padat Kasya hari ini mampu mengenyahkan kerinduan akan momen bersama Ranin—meski sesaat. Sungguh aneh juga mencengangkan, bagaimana pertemuan simpel malam itu mengubah banyak hal dalam kehidupannya. Dia tahu sejarah Mama dan ibunya Ranin—Rima dan Suri tak lain sepasang sahabat tak terpisahkan. Namun, dia tetap merasa dirinya dan Ranin memiliki takdir yang berbeda dengan kedua orang tua mereka. Lantas, apakah pertemuan waktu itu menyimpan makna atau hikmah tersembunyi?
Setelah masuk ke taksi, tak lupa Kasya menambah anting-anting chandelier untuk memberi aksen mewah dan party-ready terhadap setelan kantornya. Satu hal yang kurang saat itu: perasaannya tidak siap berpesta.
Dia meraih ponsel dari tas, lalu menekan huruf “R” pada daftar kontak. Setelah beberapa detik termenung, Kasya masukkan kembali ponselnya, meyakinkan diri sekarang merupakan waktu bersenang-senang—sesuatu yang hilang dari kehidupannya setahun belakangan ini.
Bak Cinderella, Kasya datang terlambat dan langsung disambut oleh Dahlia si tuan rumah bertubuh tipis dengan gaun satin mini merah yang membuatnya terlihat siap clubbing. Aguy sang suami ikut bergabung dalam obrolan, menanyakan rencana Rumi merambah pasar offline alias buka outlet di mal.
“Kalau rencana itu jadi, gue tertarik chip in nih.”
“Sebelum elo, udah ada beberapa investor yang tertarik. Tapi, saat ini fokus Rumi adalah meningkatkan kapasitas produksi,” papar Kasya apa adanya.
“Atau jangan-jangan semua udah ditanggung Edgar?” Aguy berkelakar, tak menggubris penjelasan tersebut. Kepalanya lalu mendongak ke kanan dan kiri. “By the way, where the hell is he?”
“Iya nih, dari tadi Edgar gak keliatan,” Rama, teman Dahlia yang juga Kasya kenal, menyahut dari arah pantry seraya mencomot tapas seafood yang tersaji apik.
Dimulai dari celoteh Aguy, berikutnya lima orang di ruangan saling bersahutan soal Edgar seolah sosok itu adalah pacar resmi Kasya. Kontan perempuan itu menyingkir perlahan ke taman belakang yang, sialnya, juga dipenuhi sajian makanan berukuran mini.
Dahlia si pengacara sekaligus selebgram berbadan superlangsing rupanya ingin membudayakan pola makan minimalis—alias bikin kelaparan—ke teman-temannya. Sungguh Kasya merana lantaran sejak makan siang belum juga mengunyah kudapan sedikit pun. Sekotak buah potong yang rutin disantapnya malah tertinggal di kulkas kantor.
Diambilnya sebutir Promag dari dalam tas.
“Edgar itu pacarmu?”
Saking kagetnya, baik dengan pertanyaan maupun pemilik suara yang melisankannya, obat mag itu pun terlepas dari jemari.
Ketika menoleh ke samping, Ranin tengah memegang kaleng cola sambil tersenyum.
“B-bukan!” Tidak siap dengan pertemuan—lagi-lagi—tanpa rencana, Kasya kontan membuang muka. Degup jantungnya sontak tak keruan. “Dia cuma orang yang dianggap Papa paling cocok untukku.”
“Terus, kamu sependapat dengan itu?”
“Itu apa?” Kasya tak paham.
“Pendapat papamu.”
Kasya menatap ke bawah sembari menggeleng.
Meski ekspresinya datar, Ranin menyimak tiap kata dan makna yang terkandung di dalamnya. Baginya, jawaban itu cukup.
Ranin membungkuk, memungut tablet hijau muda di rumput dengan kedua alis menekuk. “Kamu kenapa?”
“Asam lambung kumat. Belum makan dari tadi.” Kasya mengusap-usap bagian ulu hatinya sembari meringis. “Aku sih berharap Dahlia nyediain Big Mac di pestanya, bukan makanan supermini yang terbuat dari seafood, sayuran… dan bunga!”
Nyaris saja tawa Ranin pecah. “Dahlia memang begitu dari dulu. Dia pernah di Unity dan satu divisi sama aku. Selalu makan salad dan hampir pingsan saat lembur bareng. Kita cari makan di luar yuk. Nasi Padang kayaknya enak.”
Kedua mata Kasya kontan membelalak. “Nasi Padang? Menjelang tengah malam begini?”
“Kamu bukan pengikut aliran takut gemuk, kan?” Ranin pura-pura terlihat curiga seraya menarik mundur wajahnya.
Kasya langsung menggeleng berulang kali. “Yang jelas gak separah Dahlia.”
Semudah itu terjadi, secepat itu dia mengikuti Ranin pergi meninggalkan si tuan rumah dan gerombolan tamu lain yang hingga kini masih keheranan: kenapa Kasya tidak datang bersama Edgar dan kini malah cabut dengan Ranin?
Kasya termangu dengan pertautan tangan mereka saat Ranin mengajaknya keluar dari rumah Dahlia—dari tempat yang menyesakkan dan membuatnya merasa asing tapi tak mampu membuatnya melangkahkan kaki.
Betapa relaks lelaki di depannya mengambil keputusan; lakukan atau tidak lakukan sesuai kehendak hati. Entah kapan Kasya bisa begitu.
* * *
Ranin baru melangkah melewati pintu geser otomatis di lobi kantor tatkala melihat sedan hitam familier menepi tepat di depan. Jendela mobil pun terbuka, menampilkan sosok penumpang di dalamnya.
“Lho? Tumben Ayah-Ibu ke sini.” Ia tak menyangka Ibu menelepon setengah jam yang lalu untuk menghampirinya ke kantor. Baru saja dirinya bersiap membuka transport app di ponsel.
“Hari ini kan anniversary Ayah-Ibu!” Wajah Ibu tampak berseri-seri dan Ranin tak kuasa untuk tidak ikut tersenyum.
“Aku tau. Tapi biasanya Ayah dan Ibu makan malam berdua—dan aku nunggu dibeliin piza di rumah,” ujar Ranin sambil cengengesan, membetulkan posisi ranselnya di bahu kanan.
“Kali ini kami pengin kamu ikut juga, Nin,” papar Ayah, sekilas terdengar seperti anak kecil tengah merajuk.
Mobil di belakang mulai membunyikan klakson dengan tidak sabar.
“Wah, maaf… Ayah dan Ibu lupa nanya, kamu sudah lebih dulu ada acara, ya?” sahut Ibu, tampak panik.
“Hmm… ya. Mau cari makan bareng Kasya—”
“Ajak Kasya aja!”
Bunyi klakson mobil kembali terdengar dan Ranin meminta Ayah untuk sedikit maju, memarkir sementara di slot VIP yang kebetulan tidak digunakan.
Ranin segera meraih ponsel dan menyampaikan wacana baru tersebut. Tak lupa dia tekankan bahwa Kasya berhak memilih rencana awal mereka jika kurang berkenan.
“Aku mau ikut,” Kasya merespons.
“Wow…” Ranin sempat mengira dirinya salah mendengar. “Hmm… oke, kalau begitu.”
Jadilah mereka bertiga menjemput Kasya di kantor yang berjarak tidak terlalu jauh dari gedung pencakar langit tempat Ranin bekerja. Mereka melewati Pacific Place yang masih “tetanggaan” dengan area perkantorannya. Meski mal tersebut cukup dekat dari tempat mereka bekerja, selama ini Ranin dan Kasya sepakat untuk tidak menyesap kopi di situ dan hanya memilih kedai-kedai kecil seperti Portrait.
Di luar dugaan Ranin, suasana di mobil—ia dan Kasya duduk di depan, Ibu dan Ayah menempati jok belakang—jauh dari canggung. Ibu langsung memeluk Kasya dengan hangat dan obrolan bergulir dari pertunjukan balet terakhir yang pernah Kasya lakoni—bahkan Ranin tidak tahu Kasya seorang balerina!—hingga corak lukisan Piet Mondrian yang tak ubahnya arena game Pac-Man. Ranin baru menyadari betapa “klik” Ibu dan Kasya lantaran sama-sama menggemari seni.
Ayah dan Ibu memilih restoran Sunda yang sudah lama tak mereka kunjungi. Terakhir kali ke sana, Ranin mengajak Jagat sahabatnya yang kini meneruskan S-2 di Melbourne. Musik instrumental khas Sunda, Degung Sabilulungan, yang mengalun dan sayup-sayup terdengar, membangkitkan nuansa nostalgia. Aroma wangi ikan bakar berpadu dengan ayam goreng membuat perutnya seketika keroncongan.
Ranin terbiasa makan di tempat bersuasana hangat seperti ini yang tak mewajibkan pengunjungnya memakai dress code tertentu, tetapi apakah Kasya juga demikian?
Hampir saja Ranin yang sedikit grogi menanyakan hal itu ke Kasya, tetapi cepat-cepat menahan ucapannya. Ini saat yang tepat untuk melihat seperti apa wanita yang belakangan kerap membuatnya susah fokus saat bekerja—dan silaturahmi macam apa yang akan dia bina ke depan.
Setelah melahap bersih pepes ikan mas dan sayur asem, Ayah yang sejak tadi hanya menyimak obrolan Ranin, Kasya, dan Ibu, kini nimbrung. “Nah, Kasya kan aslinya dari Bandung. Kalau Burger King jualan di Bandung pasti tau dong namanya jadi apa?”
Kasya tampak serius berpikir menanggapi tebak-tebakan Ayah. “Tetap Burger King?” jawab Kasya sekenanya.
“Bukan.” Kedua alis Ayah terangkat kala memamerkan senyum kemenangan. “Burger, Kang.”
“Hah?” Kasya kontan bengong sebelum akhirnya mengakak. Pemandangan yang tak pernah Ranin saksikan sebelumnya dari si putri es.
Di antara derai tawa, Ranin berusaha meresapi kebersamaan yang terasa indah sekaligus aneh… tak biasa. Sejak dulu pun Ayah tidak berubah, doyan melontarkan teka-teki receh tanpa kenal waktu, termasuk soal obsesi Ranin menunggangi Mercedes-Benz sepuluh tahun dari sekarang. Bukannya tersinggung, Ranin yang saat itu pulang kantor dengan muka kusut malah tersenyum lagi kala mendengarnya.
Mendapati Kasya masih tertawa bersama Ayah dan Ibu, sebentuk sensasi lain menjalari hati Ranin. Kedua matanya intens menatap ke depan. Seandainya gue dan Kasya…
Tiba-tiba seuntai nada bip terdengar di ponsel Kasya yang tak lama disusul suara bising lainnya.
Latar musik yang terasa akrab di telinga Ranin—pertunjukan live The Soulful saat pesta tahun baru di LEÓN!
“Asoy deh Ranin, Je!”
Kemudian, terdengar teriakan Angga diikuti rekan-rekan Unity lain.
Kedua mata Ranin kontan melotot. Itu tak lain kejadian saat ia dan Jehan asyik bercumbu dalam keadaan mabuk!
Menyadari video yang tengah Kasya saksikan dalam membisu, mata Ranin pun spontan terpejam lama. Kekacauan baru saja dimulai.
“Kalian berdua kok mendadak diam?” Masih dengan sisa ekspresi cerianya, Ibu pun bertanya bingung.
(Bersambung)
Penasaran dengan lanjutan dari cerita Detik Tanpa Jeda?
Gabung bersama komunitas Jenius Co.Create
dan baca bagian terakhirnya, Hati Telah Memilih, di sini!
Comments ( 8 )