Kamu sadar gak belakangan ini muncul berbagai start-up dan inovasi menarik di industri finansial? Tahun 2018 juga dikabarkan akan menjadi tahunnya fintech, sebab peluang fintech semakin terbuka lebar.
Topik inilah yang dikupas tuntas dalam diskusi panel bersama Irwan Tisnabudi (Product & Proposition Head, Bank SMBC Indonesia), Edward Widjonarko (Co-Founder, Cicil.co.id), Adrian A. Gunadi (Co-Founder & CEO Investree), Agung Bezharie (Co-Founder/CEO Warung Pintar) di EV Hive Coworking Space – Jenius Co.Create pada tanggal 7 Maret 2018 lalu. Diskusi ini masih termasuk dalam rangkaian acara peresmian coworking space EV Hive yang ke-17 di Menara SMBC.
Pada awal sesi, keempat panelis menjelaskan tentang produk serta peran masing-masing dalam merevolusi ekonomi nasional; Jenius sebagai solusi Life Finance untuk para digital savvy, Cicil.id sebagai platform peminjaman khusus mahasiswa, Investree sebagai platform peer-to-peer lending, dan Warung Pintar sebagai perusahaan teknologi retail.
Meski menawarkan produk yang berbeda, setiap bisnis tentu berangkat dari sebuah peluang. Adrian menjelaskan bahwa, secara finansial, credit gap atau kebutuhan atas pembiayaan yang bisa dipenuhi oleh sektor formal di Indonesia itu cukup besar, yaitu US$57milliar. Bagi Adrian, credit gap tersebut sebenarnya bisa menjadi peluang bagi pemain peer-to-peer lending untuk bisa mengisi kekosongan tersebut. Sementara Agung selaku CEO Warung Pintar justru melihat peluang dari populasi penduduk di Indonesia.“Dari jumlah orang Indonesia itu, 60 persen adalah grass root dan penghasilannya di bawah rata-rata orang Jakarta. Ini yang sebenarnya ingin kita eksplor,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan bahwa bisnis retail warung merupakan pusat komunitas bagi masyarakat menengah ke bawah. Melalui Warung Pintar, ia justru ingin membuka peluang lebih besar bagi para pengusaha warung dan masyarakat menengah ke bawah tersebut.
Dari kiri ke kanan: Irwan Tisnabudi (Product & Proposition Head, Bank SMBC Indonesia), Edward Widjonarko (Co-Founder, Cicil.co.id), Adrian A. Gunadi (Co-Founder & CEO Investree), Agung Bezharie (Co-Founder/CEO Warung Pintar).
Nah, bila kamu tertarik untuk membangun bisnis di bidang finansial, kamu juga harus jeli melihat peluang bisnis. Peluang tersebut tidak hanya berasal dari angka credit gap ataupun jumlah penduduk di Indonesia. Kamu bisa memulainya dari yang lebih mikro, seperti keluhan atau masalah yang sering dihadapi orang-orang di sekitarmu. Jenius misalnya, berangkat dari permasalahan yang biasa dihadapi masyarakat selama ini. Banyak dari kita yang harus meluangkan waktu berjam-jam untuk membuat rekening di kantor cabang atau menelepon dan menunggu cukup lama untuk blokir kartu ke bank penerbit. Berangkat dari pengalaman tersebut, Jenius hadir menawarkan solusi yang lebih praktis dan mudah untuk kegiatan perbankan dan pengelolaan finansial para digital savvy.
Seorang pebisnis tidak hanya mampu melihat peluang namun juga harus siap dengan tantangan yang dihadapi. Keempat panelis sepakat bahwa sektor industri finansial setidaknya memiliki 4 tantangan, di antaranya adalah:
Proses yang harus cepat
Irwan Tisnabudi (Product & Proposition Head, Jenius SMBC Indonesia) tengah menjelaskan tentang agile process yang dimiliki fintech.
Sebagai solusi keuangan, fintech terkenal dengan sistem kerja agile. Di mata bank konvensional, keunikan ini dianggap sebagai tantangan. Irwan menjelaskan bahwa bank harus mampu mengadopsi sistem kerja agile yang dimiliki fintech. Namun meski terkenal dengan prosesnya yang cepat, fintech juga harus tetap mengikuti aturan dari regulator.
Sebaliknya, dari sisi regulator juga harus berkembang sejalan dengan industri fintech. Sebab, tidak mungkin harapan akan revolusi ekonomi bisa terjadi bila kedua belah pihak tidak berjalan beriringan. Kabar baiknya seperti yang dikatakan oleh Irwan, saat ini regulator maupun pelaku industri fintech dan digital banking sudah bergerak ke arah yang sama.“Saya rasa regulator sudah banyak berubah 2-3 tahun terakhir. Jadi bagi saya sendiri, semua sudah berjalan ke arah yang sama,” tambahnya.
Lokalisasi penggunaan teknologi
Edward Widjonarko, selaku CEO Cicil.co.id, mengatakan bahwa pelaku industri fintech harus bisa memaksimalkan penggunaan teknologi untuk mengumpulkan, mengolah, dan mengevaluasi data collection. Mengingat perusahaan start-up harus bisa berkembang cepat dalam waktu yang lebih singkat, pemanfaatan teknologi yang tepat dapat mempercepat perkembangan serta menghemat biaya.
Adrian selaku Co-Founder dan CEO Investree, juga mengungkapkan bahwa keunikan di Indonesia adalah tidak semua sisi bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi.
“Berbeda dengan Cina dan US, masyarakat kita tetap harus ada touch-angle yang dilakukan secara offline. Bagaimana pun, kita melihat tanggung jawab untuk menjaga asset quality,” jelas Adrian. Touch angle yang dimaksud dalam hal ini dapat berupa proses KYC yang dilakukan secara offline
Pemerataan teknologi di tanah air
Agung Bezharie (Co-Founder/CEO Warung Pintar) menceritakan pengalamannya saat jaga warung di beberapa tempat di Jakarta.
Bagi pelaku fintech yang menyasar masyarakat menengah ke bawah, seperti Warung Pintar pemerataan teknologi justru menjadi tantangan utama. Pemerataan ini mencakup kecepatan data streaming dan akses 4G yang belum merata, khususnya di kota-kota di Indonesia Timur atau di pulau-pulau terjauh.
“Kita pada dasarnya hanya memperbesar kesempatan dari bisnis yang sudah ada dari dulu. Tantangan sebenarnya buat kita adalah memastikan apakah pemerataan teknologinya sudah siap atau belum”
Selain pemerataan teknologi, untuk bisa memahami kebutuhan masyarakat menengah ke bawah perlu digunakan pendekatan yang berbeda. Agung mengatakan bahwa untuk bisa memahami masyarakat menengah ke bawah lebih baik, pelaku industri harus siap terjun langsung ke lapangan. Ia sendiri bahkan pernah menjajal pengalaman jaga warung di beberapa tempat di Jakarta dan hal tersebut membantunya memahami baik kebutuhan sekaligus kendala yang dihadapi para pengusaha warung. “If you want to understand these users better, let your hand be very dirty,” tandasnya.
Kolaborasi untuk masa depan inklusi keuangan yang lebih baik
Setiap pelaku industri di ranah keuangan, baik digital banking, peer-to-peer lending, maupun jenis start-up fintech lain memiliki peluang dan tantangannya masing-masing. Ke depannya, untuk bisa menjangkau lebih banyak orang yang berpotensi menjadi pelanggan, melayani lebih baik, serta mempercepat inklusi keuangan, para pelaku industri harus saling berkolaborasi, bukan berkompetisi.
“Indonesia itu menarik, banyak daerah atau kota-kota kecil di pulau terjauh yang belum dijangkau atau terfasilitasi secara finansial. Jadi kalau dibanding 256juta penduduk Indonesia, kita baru menjangkau 60juta penduduk saja. Jadi sebenarnya ini masih jauh, perjalanan kita masih panjang dan saya akan senang sekali bila kolaborasi ini terus ada”
Kolaborasi ini tidak hanya antar pelaku industri fintech atau fintech dengan bank saja namun juga dengan pihak-pihak terkait seperti telekomunikasi. Irwan menjelaskan bahwa untuk bisa bertransformasi ke digital, infrastruktur juga harus mumpuni.
“Secara teknologi, kita perlu banget bantuan infrastruktur, mungkin 4G di Indonesia kita beda dengan 4G di Singapura. Nah, mungkin pelaku fintech harusnya juga bekerja sama dengan pihak telekomunikasi, karena kalau mau going to digital, tapi infrastrukturnya tidak mumpuni, ya tinggal kenangan aja”
Bila kamu setuju dengan keempat panelis tersebut, kamu juga bisa berkolaborasi untuk industri fintech dan masa depan Life Finance di Indonesia yang lebih baik. Caranya mudah, cukup daftarkan dirimu sebagai Co.Creator di sini. Sebagai Co.Creator, kamu berkesempatan untuk turut aktif memberikan ide atau inovasi menarik seputar layanan finansial atau topik lain yang sesuai dengan minat kamu.
Comments ( 0 )